"Bethoven adalah contoh yang sebesar sebesarnya tentang keharusan bertindak bagi seniman. Ketika pecah revolusi Prancis, Bethoven menyambutnya luar biasa..."
Nyoto memang bintang terang di langit politik dan seni. Sastrawan Iwan Simatupang, lawan politik Nyoto dalam gelanggang seni dan politik era 1960an menuliskan briliannya Nyoto pada sahabatnya B Soelarto:
"Genialitas dan brilyansi itu kini (hanya) ada di kalangan PKI. Ini fakta, lho! Sekiranyalah Aidit dan Njoto bukan di PKI, tapi misalnya di NU atau PNI, ya Allah: sejarah tanah air kita akan sangat berbeda, sangat berbeda”.
Nyoto mendirikan Lekra dua bulan setelah peristiwa Madiun 19 September 1948. Saat itu PKI mulai dipegang barisan muda, DN Aidit, Nyoto dan Lukman. Tiga Serangkai ini bertemu di Yogyakarta lalu berbagi tugas membangun kembali partai yang tengah porak poranda.
Namun, Nyoto agaknya menjaga garis Lekra agar tak diubah menjadi "merah" oleh PKI. Karena tak semua anggota Lekra komunis, Nyoto ingin mempertahankan keragaman itu. Nyoto juga yang merumuskan metode Turba, turun ke bawah, tinggal bersama buruh tani, buruh dan nelayan, termasuk mengenalkan slogan politik adalah panglima.
Lahir di Jember Jawa Timur pada 1927, Nyoto dididik dengan keras, tegas, berdisiplin oleh ayahnya, Raden Sosro Hartono. Dunia politik lekat dengan sejarah keluarganya. Sebelum pindah ke Jember, Sosro Hartono adalah anggota PKI di Surakarta sejak 1920-an. Pengusaha jamu dan busana ini juga pernah menjadi sekretaris Agitasi dan propaganda (agitprop) di PKI Bondowoso.
Kecerdasan politik agaknya menurun ke Nyoto. Nyoto membaca buku babon komunisme Karl Marx, Stalin, Lenin sejak kecil, Saat masih duduk di MULO (setingkat SMP) di Solo, pada usia 16 tahun Nyoto sudah jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat di Yogyakarta, mewakili Partai Komunis Indonesia Banyuwangi.
Load more