Saya terhenyak. Saya kecewa dan sedih.
Puncaknya hari-hari ini. Dengan tipu muslihat dan dana yang bermilyar-milyar, jalan Gibran untuk jadi wakil presiden disiapkan.
Gibran mungkin walikota yang baik, tapi ia tak tertandingi karena tak pernah ada pertandingan. Ia juara yang tak sejati. Dan lebih buruk lagi, rasa keadilan dilecehkan, aturan yang disepakati dikhianati.
Saya sedih melihat itu semua. Demokrasi dimulai dengan sangka baik — tentang yang memilih dan yang dipilih —dan mengandung kepercayaan kepada sesama. Kini sangka baik itu retak, mungkin rusak parah, karena orang yang kita percayai ternyata culas. Padahal sangka baik — meskipun mungkin naive — adalah modal sosial untuk membangun kebersamaan bangsa.
Saya sadar saya dan banyak orang lain seperti saya, tak berdaya melawan. Kami tak punya tentara, polisi dan birokrasi untuk menggertak, tak punya uang trilyunan untuk menyuap.
Tapi tak bisa saya akan hanya diam; saya akan bersalah kepada negeri kita yang satu-satunya ini jika saya hanya diam. Dengan catatan: dalam umur lanjut ini, saya sadar batas. Tanpa ingin lumpuh.
Saya masih berbahagia bahwa di masa ketika nilai-nilai disingkirkan saya masih bisa menulis dan melukis — kegiatan di mana apa yang baik selalu mengimbau agar diraih dan yang palsu dibuang.
Load more