Artinya, pengadaan LNG di Pertamina itu memang merupakan aksi korporasi yang sah dalam rangka pelaksanaan perintah jabatan sesuai Inpres, Perpres, dan Surat UKP4, yakni guna mengantisipasi defisit gas dan kebutuhan dalam negeri.
“Pengadaan, Pengelolaan dan kemudian realisasi seluruh pengadaan LNG di Pertamina tersebut tidak dilakukan oleh Karen Agustiawan secara pribadi, melainkan oleh korporasi, sebagaimana pengiriman kargo LNG CCL berdasarkan SPA tahun 2015 tersebut kemudian baru terealisasi pada tahun 2019, yaitu setelah Karen Agustiawan tidak berhenti,” Togi.
Terkait dengan tuduhan Kerugian Keuangan Negara, bahwa kontrak pengadaan LNG antara Pertamina dan CCL ini masih akan berjalan hingga 2040. Saat ini pengadaan LNG dari CCL justru telah memberikan keuntungan bahkan lebih besar ketimbang pengadaan dari sumber LNG lainnya. Sehingga, sungguh keliru perhitungan kerugian keuangan negara dalam penyidikan KPK hanya dibatasi hingga tahun 2021 saja.
“Dari data yang kami peroleh, pada saat ini pengelolaan cargo LNG dari CCL milik Pertamina justru telah menguntungkan Pertamina sebesar USD88,87 Juta atau setara Rp1,3 Trilyun,” ujar Togi.
Kemudian lanjut Togi, jika kliennya ditersangkakan dan ditahan karena ada kerugian, maka logikanya seluruh keuntungan dari penjualan LNG CCL hingga saat ini dan sampai nanti 2040, harus diberikan kepada Karen Agustiawan.
“Hal ini agar sistem penegakan hukum berjalan secara konsisten dan tidak double standard,” tegasnya lagi.
Kesimpulannya, kata Togi, mentersangkakan Karen Agustiawan atas suatu aksi korporasi yang masih berjalan dan bahkan pada saat ini menguntungkan perusahaan, jelas merupakan error in persona. Ditambah lagi dalam proses penyidikan itu ternyata terjadi pelanggaran ketentuan Hukum Acara Pidana, seperti belum diperolehnya bukti permulaan yang cukup, dan pelanggaran lain terkait upaya paksa yang dikenakan kepada Karen Agustiawan. (mhs/ebs)
Load more