tvOnenews.com – Mahkamah Konstitusi RI merupakan lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang lahir pada tahun 2003, dari hasil perubahan UUD RI Tahun 1945. Sebagai organ konstitusi, lembaga ini didesain untuk menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap UU Dasar melalui putusan-putusannya.
Ini sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi
Dalam sejarah penyusunan UUD 1945, Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pernah mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding undang-undang" yang maksudnya adalah kewenangan judicial review. Namun akhirnya ide tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.
Seiring berjalannya waktu, kebutuhan akan adanya mekanisme judicial review di Indonesia semakin terasa. Pada tahun 2001, sejarah MK diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Pada perubahan ketiga UUD 1945, dirumuskanlah Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang MK. Untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
Setelah dilakukan pembahasan selama beberapa waktu, akhirnya rancangan undang-undang tersebut disepakati oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, Undang-undang tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara, lalu diberi nomor menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Tanggal 13 Agustus 2003 ini adalah hari yang menandai hari lahirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Dilansir dari mkri.id, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, tiga lembaga negara yakni DPR, Presiden, dan MA mengajukan hakim konstitusi masing-masing tiga orang. Hakim konstitusi yang diajukan DPR yaitu Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., I Dewa Gede Palguna., dan Letjen TNI (Purn) Achmad Roestandi, S.H. Lalu, Presiden mengajukan Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM., dan Dr. H. Harjono, S.H., MCL., S.H., M.H. Terakhir, MA mengajukan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Maruarar Siahaan, S.H., dan Sudarsono, S.H.
Dari hasil musyarah sembilan hakim konstitusi periode pertama dengan masa jabatan 2003-2008, terpilihlah ketua dan wakil ketua MK. Hasilnya, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. terpilih sebagai ketua MK dan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. sebagai wakil ketua MK pertama.
Perjalanan MK selanjutnya ditandai oleh pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandai berakhirnya kewenangan MA, dalam melaksanakan kewenangan MK yang bersifat sementara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945.
Pada periode pertama, hakim konstitusi periode pertama (2003-2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk. Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU), 10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Selain kemajuan di bidang penyelesaian perkara, MK periode pertama ini juga berhasil memperkenalkan diri kepada masyarakat luas sebagai lembaga negara baru melalui berbagai kegiatan dengan berbagai elemen masyarakat, terutama perguruan tinggi.
Pada periode kedua, yakni tahun 2008-2013, MK menerima pengalihan kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dari MA.
Selain di dalam negeri, sosialisasi MK Republik Indonesia juga merambah ke level internasional melalui berbagai forum pertemuan MK berbagai negara. Kiprah MK dalam dunia internasional juga meningkat dengan terlibatnya MK dalam mendirikan The Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutionst (AACC) yang dideklarasikan di Jakarta pada tahun 2010.
Pada tahun 2014, MK membentuk Dewan Etik Hakim Konstitusi berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Dewan Etik Hakim Konstitusi diatur dalam Bab IV PMK tersebut. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa Dewan Etik Hakim Konstitusi merupakan salah satu perangkat yang dibentuk oleh MK untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan dan/atau informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oileh Hakim Konstitusi.
Sepanjang sejarah, ada beberapa kasus yang pernah ditangani MK, antara lain dihapusnya ancaman pidana bagi orang yang mengaku-ngaku advokat pada tahun 2004, harga BBM dikendalikan pemerintah pada tahun 2003, dan dipangkasnya kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia pada tahun 2003.
Load more