Jakarta, tvOnenews.com - Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menduga Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) sebagai penyelenggara pemilihan umum (pemilu) "bermain" politik. Hal ini merespons soal daftar calon tetap (DCT) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Pemilu 2024 yang tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
"[Pemilu] 2014 bisa terlaksana, 2019 bisa terlaksana. Pertanyaannya, kenapa 2024 bukan tidak bisa? Tidak mau dilaksanakan? Jadi ini ada persoalan penyelenggara yang memang bermain politik dugaan saya, karena ingin mengakomodir permintaan peserta pemilu," ujar Hadar kepada awak media di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Jakarta Pusat, Selasa (21/11/2023).
Hadar menyebut bahwa DCT DPR RI Pemilu 2024 harus memuat keterwakilan perempuan minimal 30 persen, meski pemilu makin mendekat atau makin sempit waktunya. Karena ini adalah hal yang harus dilakukan di dalam satu pemilu, tidak bisa ada pemilu dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Karena itu ada persoalan legalitasnya loh nanti, sangat serius. Jadi, berapapun sisa waktu yang ada itu harus diakomodir," ujar Eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI tersebut.
Hadar menuturnya, ada ribuan perempuan yang kehilangan hak konstitusionalnya untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg). Hal ini belum pernah terjadi sejak kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan ada di dalam UU Pemilu.
"Tidak bisa sebetulnya, tidak bisa dibenarkan oleh penyelenggara pemilu seperti ini," tutur Hadar.
Menurut dia, daerah yang telah memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 persen bisa langsung dicetak surat suaranya. Sebaliknya, jika terdapat daerah yang belum memenuhi syarat tersebut dapat ditunda.
"Misalnya, saya ambil contoh, untuk DPR RI itu ada 84 dapil (daerah pemilih), 30 dapil itu bebas dari persoalan ini. Tiga puluh dapil inilah cetak duluan, kalau memang itu persoalan strategi percetakan yang menjadi mendesak," ujar Hadar.
"Sisanya tunggu putusan, kira-kira begitu. Nah itu harus disisir terus ke tingkat bawahnya," sambung dia.
Salah satu pelapor dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan itu menyebut koalisinya mendengar bahwa dalam rangka untuk merekrut caleg, sebetulnya partai politik (parpol) itu semuanya sudah siap untuk merekrut dan banyak perempuan yang mencalonkan. Bahkan ada parpol yang mengaku bakal merekrut sampai 200 persen atau dua kali lipat dari calon yang dibutuhkan.
"Karena peraturannya kan sudah jelas, Undang-Undangnya kan sama, nah tetapi kemudian karena ulah, perilaku curang yang tidak demokratis dari penyelenggara pemilu, akhirnya semua berantakan seperti ini. Mereka (KPU) harus menanggung ini, jadi tidak bisa persoalan logistik menjadi alasannya," tutur Hadar.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan pada 13 November 2023 telah mendatangi Bawaslu RI untuk melaporkan dugaan pelanggaran administratif oleh KPU RI. Para pelapor ini terdiri dari Anggota Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang telah sejak awal melakukan pengawalan keterwakilan perempuan pada Pemilu 2024.
"Kami [Koalisi] Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, hari ini melaporkan dugaan pelanggaran administratif dari kami dan tadi sudah kami sampaikan laporan pengajuan kami [ke Bawaslu RI]. Dan sudah diterima dan ini ada bukti penerimaan dari laporan yang kami sampaikan, yaitu Nomor 020/LP/PL/RI/00.00/XI Tahun 2023," ujar Hadar di Media Center Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Senin (13/11/2023).
Dia mengatakan pada intinya adalah Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melihat serta mengetahui bahwa KPU RI telah menetapkan DCT Anggota DPR Pemilu 2024 yang dilakukan pada tanggal 3 November 2023 lalu. Menurut mereka, banyak daftar pemilih yang ditetapkan tersebut tidak memenuhi kriteria atau keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. (fnm/ebs)
Load more