Jakarta, tvOnenews.com - Belakangan viral di media soial video yang memperlihatkan sekelompok diduga ormas Adat Manguni yang pro Israel menganiaya massa pro Palestina di Kota Bitung.
Aksi solidaritas untuk Palestina di Kota Bitung, Sulawesi Utara itu berlangsung ricuh, pada Sabtu lalu.
Namun yang menarik, kelompok Laskar Manguni mengenakan pakaian adat suku Minahasa bernama Kawasaran.
Ternyata, pakaian tersebut pernah digunakan oleh Kaesang Pangarep dan Erina Gudono saat menghadiri upacara 17 Agustus tahun ini.
Lantas, apa makna dan filosofi pakaian adat suku Minahasa ini?
Adapun pakaian adat yang dikenakana Kaesang dan Erina, didominasi kain berwarna merah dengan corak batik yang menjuntai ke bawah. Bagian atas dilengkapi dengan hiasan-hiasan tengkorak dan taring yang dikalungkan di leher.
Kaesang dan Erina juga memakai hiasan kepala bak mahkota yang terpasang taring-taring panjang dan bulu warna hitam, merah muda, putih, dan abu-abu. Keduanya juga membawa pedang, tombak dan tameng.
Kawasaran atau juga disebut Kabasaran, berasal dari kata Wasar, yang berarti ayam jantan yang dipotong jenggernya agar lebih berani saat diadu dengan ayam lain.
Kawasaran merupakan tarian khas Minahasa yang menceritakan tentang prajurit yang berperang melawan musuh. Mereka akan melompat-lompat dan berteriak dengan ekspresi menakutkan dan mata melotot.
Tarian Kawasaran memilki tiga babak, di antaranya:
Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang.
Selain itu, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.
Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak”, bermakna mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.
Lalaya’an, adalah babak di mana para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan di pinggang dan tarian riang gembira lainnya.
Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik Tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik.
Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, di mana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang. (ebs)
Load more