Jakarta, tvOnenews.com - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS, Sukamta, menyikapi sekitar 204 juta data pemilih tetap (DPT) di KPU yang kembali bocor. Kali ini diduga dilakukan oleh Jimbo.
“Ini malapetaka untuk rakyat dan demokrasi. Kok malah dibilang data biasa? Kita sudah mengesahkan UU PDP tahun 2022 lalu. Kita anggap sangat urgent UU PDP saat itu karena kebocoran data terus terjadi. Kita anggap kejadian-kejadian tersebut berbahaya untuk bangsa kita," ujarnya, melansir keterangan resmi, Senin (4/12/2023).
Kemudian, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyatakan di media bahwa data yang bocor itu data biasa KPU.
"Pernyataan Pak Menteri seolah menyepelekan hal itu. Peretasan sistem elektronik yang dimiliki lembaga pemerintah dan kebocoran data pribadi itu sangat bahaya. Bukan hanya terkait motif ekonomi, tapi ini bisa mengacaukan proses Pemilu 2024,” jelas Sukamta.
Data itu, imbuhnya, dijual di dark web dengan harga 74.000 dolar AS atau sekitar Rp1,2 miliar.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS Sukamta. Dok: PKS
Data yang bocor meliputi NIK, nomor KK, nomor KTP (berisi nomor paspor untuk pemilih yang berada di luar negeri), nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, status pernikahan, alamat lengkap, RT, RW, kodefikasi kelurahan, kecamatan dan kabupaten serta kodefikasi TPS.
Sukamta yang dulu juga sebagai anggota Panja RUU PDP ini menambahkan bahwa dalam UU PDP Pasal 1 data pribadi didefinisikan sebagai data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.
“Data KPU yang bocor itu cukup lengkap mulai dari NIK sampai nomor KK. Jelas ini masuk kategori data pribadi karena bisa mengidentifikasi seseorang," ungkapnya.
"Lebih spesifik lagi ini masuk dalam kategori data pribadi yang bersifat umum. Sangat rawan disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Terlebih bila data yang bocor adalah data yang dikelola oleh lembaga publik, potensi dampaknya bisa mengganggu penyelenggaraan negara,” sambung dia.
Karena itu, Wakil Rakyat dari Yogyakarta ini menekankan dua hal. Pertama, pejabat publik dalam hal ini Menteri Kominfo jangan membuat pernyataan yang kontraproduktif dan terkesan menyepelekan apa yang selama ini sudah kita upayakan, yaitu perlindungan data pribadi dalam bentuk UU.
“Kedua, pemerintah segera menyelesaikan peraturan-peraturan turunan dari UU PDP khususnya presiden harus segera menerbitkan Perpres tentang pembentukan lembaga otoritas pengawas PDP agar segera bisa melakukan fungsi pengawasan perlindungan data pribadi. Jangan sampai UU ini tumpul karena badan penyelenggaranya belum ada,” tutup Wakil Ketua BKSAP DPR RI ini. (agr/nsi)
Load more