Jakarta, tvOnenews.com - Hari ini, 28 Desember 2023, tepat sembilan (9) tahun mengenang petaka Pesawat AirAsia QZ8501, yang jatuh di Perairan Selat Karimata, dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, pada 28 Desember 2014.
Di mana, kejadian pesawat AirAsia QZ8501 jatuh itu, telah menewaskan 162 orang dan menyisahkan kesedihan yang mendalam.
Berdasarkan kronologinya, pesawat lepas landas dari Bandara Juanda, Surabaya pada pukul 05.35 WIB, menuju Changi Airport, Singapura.
Pesawat tersebut terbang dengan ketinggian 32.000 kaki di atas permukaan laut.
Namun, setelah lepas landas, pilot mendeteksi gangguan pada sistem rudder travel limiter (RTL) di ekor pesawat.
Gangguan tersebut terdeteksi melalui tanda peringatan pukul 06.01 WIB.
Mengetahui adanya gangguan, pilot berusaha mengatasi masalah ini dengan mengikuti prosedur yang tertuang dalam electronic centralized aircraft monitoring (ECAM).
Mirisnya, gangguan yang sama kembali terjadi pukul 06.09 WIB dan mendorong pilot melakukan tindakan dengan prosedur yang sama.
Empat menit setelah gangguan kedua muncul, terjadi lagi masalah pada bagian yang sama dan tanda peringatan yang serupa.
Pilot pun kembali menjalankan prosedur berdasarkan ECAM. Kendati demikian, masalah pada bagian yang sama kembali muncul hingga pesawa itu pun terjatuh.
Ironinya lagi dari kejadian tersebut, sulitnya medan yang menjadi lokasi jatuhnya pesawat membuat evakuasi jenazah korban dan badan pesawat membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan lamanya.
Bahkan, sejumlah negara turut membantu proses pencarian korban dan badan pesawat.
Soerjanto menyebutkan, pada tanggal 28 Desember 2014, sebuah pesawat airbus A320 yang dioperasikan PT. Indonesia AirAsia dalam penerbangan dari Bandar Udara Juanda berangkat jam 05.35 WIB, Surabaya menuju Bandar Udara Changi, Singapura dengan ketinggian jelajah 32.000 kaki di atas permukaan air laut.
Katanya, dalam penerbangan tersebut, captain pilot bertindak sebagai pilot monitoring, sementara kopilot bertindak sebagai sebagai pilot flying.
“Pesawat ini diperkirakan tiba di Singapura pada pukul 08.36 waktu Singapura (07.36 WIB),” ungkap Soerjanto.
Sementara, Ketua Tim Investigasi AirAsia QZ8501, Marjono Siswosuwarno jelaskan, sejak pukul 06.01 WIB, flight data recorder (perekam data penerbangan/FDR) mencatat terjadi empat kali aktivasi tanda peringatan yang disebabkan karena gangguan pada sistem rudder travel limiter (RTL).
Gangguan ini mengaktifkan electronic centralized aircraft monitoring (ECAM).
“Tiga gangguan awal yang muncul pada sistem RTL telah ditangani oleh awak pesawat sesuai dengan langkah-langkah yang tertera pada ECAM dan gangguan tersebut bukanlah suatu yang membahayakan penerbangan” ungkapnya.
Pada jam 06.15 WIB, lanjut Marjono jelaskan, terjadi gangguan lagi yang keempat kalinya.
FDR, katanya, mencatat penunjukan berbeda dengan tiga gangguan sebelumnya, gangguan tersebut memiliki kesamaan dengan kejadian gangguang pada 25 Desember 2014, saat pesawat masih di darat ketika circuit breaker (sakelar pemutus tenaga/CB) dari flight augmentation computer (FAC) direset.
“Tindakan awak pesawat setelah gangguan keempat ini yaitu mengaktifkan tanda peringatan kelima yang memunculkan pesan di ECAM berupa Auto FLT FAC 1 FAULT dan keenam yang memunculkan auto FLT FAC 1+2 FAULT," jelasnya.
Setelah tanda auto FLT FAC 1+2 FAULT muncul, lanjutnya, autopilot dan auto-thrust tidak aktif dan sistem kendali fly by wire pesawat berganti dari normal law ke alternate law yang beberapa proteksinya tidak aktif.
“Pengendalian pesawat oleh awak pesawat secara manual selanjutnya menyebabkan pesawat masuk dalam kondisi yang disebut sebagai upset condition dan stall hingga akhir rekaman FDR,” sambung dia.
Kemudian dari kesimpulan akhri investigasi, bahwa retakan solder pada electronik di RTLU menyebabkan hubungan yang berselang dan berakibat pada masalah yang berkelanjutan dan berulang.
Kemudian, sistem perawatan pesawat dan analisis di perusahaan yang belum optimal mengakibatkan tidak terselesaikannya masalah yang berulang.
Kejadian yang sama terjadi sebanyak empat kali dalam penerbangan.
Selain itu, awak pesawat melaksanakan prosedur sesuai ECAM pada tiga gangguan yang pertama.
Setelah gangguan keempat, FDR mencatat indikasi yang berbeda, indikasi ini serupa dengan kondisi di mana CB direset, sehingga berakibat terjadinya pemutusan arus listrik pada FAC.
Lalu, terputusnya arus listrik pada FAC menyebabkan autopilot disengage, flight control logic berubah dari normal law ke alternate law, kemudi bergerak dua derajat ke kiri.
Kondisi ini mengakibatkan pesawat berguling mencapai sudut 54 derajat.
Pengendalian pesawat pun selanjutnya secara manual pada alternate law oleh awak pesawat telah menempatkan pesawat dalam kondisi upset dan stall secara berkepanjangan, sehingga berada di luar batas-batas penerbangang yang dapat dikendalikan oleh awak pesawat. (aag)
Load more