Jakarta, tvOnenews.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menerima silaturahmi aktivis perempuan dari berbagai organisasi.
Mereka menyampaikan keprihatinan atas kurangnya keberpihakan terhadap kaum perempuan.
"Ini beyond election, ada pemilu atau tidak, siapapun capres-cawapresnya aspirasi ini berlaku, sehingga tidak ada kaitan dengan masalah elektoral dan seperti yang selalu saya lakukan jauh sebelum ramai-ramai pilpres," kata Mahfud, Senin (22/1/2024).
Mahfud menjelaskan, sebanyak 25 aktivis perempuan itu hadir karena keprihatinan melihat isu perempuan kurang tersentuh dalam debat capres dan cawapres.
Pertemuan dilakukan sambil makan siang bersama di lobi kantor Kemenko Polhukam.
Hadir dalam jamuan yang dilanjutkan penyerahan aspirasi aktivis-aktivis perempuan seperti Magda, Rita Serena Kolibonso, Sandra Moniaga dan Dian Indraswari. Ada beberapa isu prioritas yang mereka sampaikan.
"Mulai nepotisme, korupsi dan penyalahgunaan kewenangan, hak sipil dan representasi perempuan di parlemen dan situasi perempuan pembela HAM. Kemiskinan, pengabaian atas kekerasan seksual dan kesehatan reproduksi. Ketidakadilan iklim politik, eksploitasi dan ketimpangan, diskriminasi perempuan sampai penyelesaian HAM masa lalu," papar Mahfud.
Ia menyebut, para aktivis perempuan itu berharap, semua itu bisa menjadi agenda siapapun presiden dan wakil presiden terpilih nanti.
Dalam kesempatan itu, aktivis Magda berpendapat, isu-isu perempuan itu belum tersentuh dalam debat capres maupun debat cawapres sejauh ini.
Karenanya, ia berharap, isu-isu seputar perempuan dapat menjadi perhatian bagi semua yang berkontestasi.
"Kami sangat berharap sampaian dari teman-teman kami di sini tentang isu dalam debat kelima nanti pastinya kami yakin sangat bersinggungan dengan perempuan. Setiap isu pasti terintegrasi dengan isu perempuan, kami berharap untuk siapapun nanti presidennya punya komitmen kepada isu perempuan," ujar Magda.
Masalah lain disampaikan oleh aktivis Migrant Care, Trisna, yang menyayangkan pekerja migran masih dimasukkan dalam dapil Jakarta setiap pemilu. Belum lagi soal banyaknya pekerja migran yang tidak tercatat sebagai DPT.
"Proses pemilihan umum memberi kesan kalau pekerja migran memang sengaja ditinggalkan. Penetapan DPT hanya 1,7 dari yang kita ambil angka moderat 3,6 juta pekerja migran, itupun belum dari pelajar atau sektor lainnya," kata Trisna.
Mahfud ikut menyoroti angka pekerja migran Indonesia yang cuma tercatat 1,7 juta orang sebagai DPT di 2024.
Sebab, dari total 9,5 orang pekerja yang separuhnya ilegal, setidaknya ada 4,7 orang pekerja migran legal.
"Saya menyimpulkan masalah di lapangan itu pertama karena aturan-aturan yang ada tidak diimplementasikan, beberapa aturan ada, tapi di lapangan tidak jalan. Ada pula yang undang-undangnya ada, tapi PP-nya belum ada," ujar Mahfud.
Selain itu, ia membenarkan, selama ini keberpihakan ke kaum perempuan memang terkendala aspek-aspek politis.
Misalnya, kuota perempuan dalam partai politik atau parlemen, yang sebenarnya sudah diatur cukup jelas.
"Tapi, yang begitu sering secara politis dianggap kurang tepat, sehingga ada parpol yang meletakkan kuotanya 45-50 persen, tapi yang 45-50 itu biasanya tidak masuk parlemen, parpol besar tidak sampai 30 persen," kata Mahfud.
Kemudian, ia melihat, secara sosiologis memang masih banyak masyarakat yang masih melihat perempuan atau kaum termarjinalkan bukan prioritas.
Salah satu contohnya Gereja Yasmin yang baru selesai setelah 18 tahun.
"Kasus Gereja Yasmin di Bogor 18 tahun baru, saya datang, saya panggil Walikota, akhirnya bisa. Itu surat IMB dari Walikota, sudah sah, lalu dibatalkan oleh walikota berikutnya karena ada penolakan masyarakat," ujar Mahfud.
Untuk itu, Mahfud menampung dan memperhatikan masukan-masukan yang disampaikan aktivis perempuan dari berbagai organisasi tersebut.
Ia menegaskan, semua masukan-masukan itu nantinya akan ditindaklanjuti.(rpi/muu)
Load more