Jakarta, tvOnenews.com - Forum Diskusi Ketahanan Energi (FDKE), wadah berkumpulnya para mahasiswa, akademisi, pejabat, korporasi, praktisi, aktivis dan para pegiat terkait Energi, khususnya bidang Ketahanan Energi, para anggotanya bersepakat membangun gerakan sosial Amicus Curiae guna memberikan pembelaan hukum demi keadilan terhadap Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan.
Menurut literasi (Administrative Law & Governance Journal. Volume 4 Issue 1, March 2021), Amicus Curiae atau friends of court atau biasa juga disebut ‘Sahabat Pengadilan’ adalah sebuah upaya hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
"Amicus Curiae adalah masukan, baik dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara, tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Hakim dapat menggunakan Amicus Curiae sebagai bahan untuk memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus sebuah perkara. Hakim dapat membuka informasi dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan suatu kasus," dikutip dari literasi di atas.
Praktisi Hukum SHP Law Firm, Syaefullah Hamid dalam sebuah Diskusi 'Ngopi Bareng Awak Media' yang didukung oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Jakarta, Jumat (26/1) mengatakan Karen Agustiawan adalah korban ‘kriminalisasi’ dari Aparat Penegak Hukum (APH), yang dengan menggunakan pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah mentersangkakan dan mencekalnya sejak 7 Juni 2022, kemudian menahannya sejak 19 September 2023, serta melimpahkannya ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada tanggal 16 Januari 2024.
Sebagaimana diketahui pada 19 Sepetember 2023 lalu, Ketua KPK saat itu, Firli Bahuri mengatakan pengadaan LNG Pertamina dari Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat, Karen Agustiawan dituding telah melakukannya secara sepihak, terjadi kelebihan pasokan (over supply), dan mengakibatkan kerugian keuangan negara.
“Padahal perjanjian Jual Beli LNG tersebut sudah dibatalkan keseluruhannya dan digantikan dengan perjanjian baru di tahun 2015 pada era Dwi Soetjipto, yang menggantikan Karen Agustiawan (pada 1 Oktober 2014 mengundurkan diri sebagai Dirut Pertamina),” jelas Syaefullah.
Selain itu Syaefullah juga mengatakan pengadaan LNG dari CCL itu adalah perintah jabatan dan merupakan sebuah aksi korporasi, yang prosesnya berlangsung dari bawah ke atas (bottom-up), sesuai dengan tupoksi dan telah disetujui secara kolektif kolegial oleh seluruh Anggota Direksi.
"Dalam Anggaran Dasar (AD) Pertamina juga mengatur bahwa keputusan yang diambil oleh Dewan Direksi boleh tanpa persetujuan dari Dewan Komisaris dan RUPS. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 8 dan ayat 10 AD Pertamina dan juga Board Manual 2013, serta Memorandum Legal Corporate tanggal 24 Agustus 2013, jadi tidak benar kalau dituduh sepihak,” jelasnya.
Terkait oversupply, Syaefullah menjelaskan bahwa kontrak pengadaan LNG akan berlangsung hingga 2040, dan kerugian yang terjadi pada tahun 2020 dan 2021 ini ditengarai akibat Pandemi Covid-19, di mana semua harga komoditas dunia anjlok dan sistem transportasi antar negara terganggu, karena banyak pemberlakuan lockdown.
"Padahal dari impor LNG CCL ini Pertamina kini telah menerima keuntungan yang sangat besar. Sampai Desember 2023 saja, keuntungan yang diterima Pertamina sudah mencapai USD91.617.941 atau sekitar Rp1,425 Triliun. Sehingga tidak tepat disebut adanya kerugian negara," terangnya.
Gugatan Karen Agustiawan dkk kepada PwC Lanjut ke Persidangan Pokok Perkara
Sementara itu, gugatan perdata yang dilayangkan Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan, Mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto, dan Mantan Vice President Business Development and Commercial Gas Pertamina Djohardi Angga Kusumah kepada pihak Tergugat, yakni PT Pricewaterhouse Coopers Consulting Indonesia (PwC), akan dilanjutkan dengan sidang pokok perkara pada 1 Februari 2024.
Kuasa Hukum Penggugat, Humisar Sahala Panjaitan saat Diskusi 'Ngopi Bareng Awak Media' yang didukung oleh Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) di Jakarta, Jumat (26/1) mengatakan proses mediasi yang dilakukan di PN Jakarta Selatan menghasilkan deadlock.
“PwC kami gugat karena dalam Laporan Investigasi Pengelolaan Bisnis Portofolio LNG Pertamina tertanggal 23 Desember 2020, telah menyajikan beberapa kesimpulan yang Prematur, Tidak Akurat, Gegabah, dan Menyesatkan. Misalnya, dari 3 orang Klien kami, PwC hanya mewawancari 1 orang sebagai auditee. PwC pun telah keliru atau salah dalam memahami Anggaran Dasar Pertamina, PwC tidak membaca dan/atau tidak memahami Board Manual, RKAP, RJPP PT Pertamina (Persero), dan lain-lain,” jelas Sahala.
Kemudian lanjut Sahala, Laporan PwC tersebut telah dijadikan sebagai salah satu dasar penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi Pengadaan LNG di PT Pertamina (Persero) tahun 2011 - 2021 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang berimbas kepada nasib kliennya.
"Sebelumnya Ibu Karen Agustiawan juga pernah menyampaikan surat kepada PwC tertanggal 9 Oktober 2023 yang menyatakan keberatan terkait hasil laporan tersebut, namun tidak ada respon dari pihak PwC atas keberatan tersebut," tambah Sahala.
Untuk itu terang Sahala, Penggugat meminta pertanggungajawaban hukum PwC atas kerugian materiil dan immateriil yang telah dan sedang dialami Karen Agustiawan sebesar Rp6.000.000.000,- (Enam Milyar Rupiah), dan yang dialami oleh Hari Karyuliarto sebesar Rp6.096.000.000,- (Enam Milyar Sembilah Puluh Enam Juta Rupiah).
Sedangkan kerugian immaterial sebesar USD78.000.000 (Tujuh Puluh Delapan Juta Dolar Amerika Serikat) atau setara dengan Rp1.216.800.000.000 (Satu Trilyun Dua Ratus Enam Belas Milyar Delapan Ratus Juta Rupiah).
"Klien kami juga meminta PwC dihukum untuk mengumumkan permohonan maaf di Media Cetak dan Media Online secara serentak selama 3 (tiga) hari berturut-turut, agar diketahui oleh masyarakat paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan perkara ini berkekuatan hukum tetap. Dalam petitum terakhir gugatan, Klien kami meminta PwC dihukum membayar uang paksa (dwangsom) kepada Klien kami sejumlah Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) setiap harinya terhitung sejak PwC lalai menjalankan dan memenuhi isi putusan, termasuk meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta bergerak milik PwC," pungkasnya.(ebs)
Load more