tvOnenews.com - Pemerintah Amerika Serikat (AS) menuntut hukuman denda sebesar USD220 juta (sekitar Rp3,465 triliun) kepada SAP, sebuah perusahaan teknologi perangkat lunak asal Jerman. Berdasarkan penyelidikan Departemen Kehakiman AS, SAP diduga melakukan tindakan suap (gratifikasi) ke pejabat pemerintah beberapa negara, termasuk Indonesia pada akhir 2014 hingga 2022.
Meskipun SAP berasal dari Jerman, tetapi SAP tercatat di Bursa Efek New York. Berdasarkan regulasi Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), pihak berwajib AS berhak melakukan penyelidikan dan tuntutan hukum bagi semua organisasi yang masuk ke institusi finansial mereka. Sehingga SAP juga harus mematuhi regulasi negara Paman Sam itu.
"Berkaca dari kasus tersebut, jika SAP yang bukan berasal dari AS saja bisa dituntut, tentunya AS akan lebih keras terhadap perusahaan yang notabene adalah anak kandungnya sendiri. Sebut saja, Corpus Christi Liquefaction (CCL), anak usaha Cheniere Energy Inc., sebuah perusahaan AS yang saat ini kasusnya masuk tahap pelimpahan ke pengadilan Tipikor oleh KPK. Pasalnya, karena kontrak jual beli LNG antara Pertamina dengan CCL, dituding KPK telah menyebabkan kerugian negara di Indonesia."
Demikian disampaikan oleh Pakar Hukum, DR. Zulkarnain Sitompul, SH, LLM, saat berdiskusi dengan awak media usai menyaksikan jalannya sidang gugatan perdata Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan dkk., kepada Perusahaan Akuntansi PT PricewaterhouseCoopers Indonesia (PwC), Kamis (1/02/2024) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kasus penegakan hukum terhadap SAP ini seharusnya menjadi pelajaran, bagaimana AS yang memiliki integritas tinggi terhadap pemberantasan korupsi di negaranya," ujar Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional ini.
Zulkarnain, yang juga mantan Deputi Komisioner Bidang Hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menambahkan bahwa Amerika Serikat memiliki Securities and Exchange Commission (SEC). Menurutnya SEC sangat teliti dalam memantau semua transaksi yang masuk ke dalam institusi keuangan mereka.
"Sehingga, jika terjadi ‘penyuapan’ atau gratifikasi yang dilakukan CCL kepada Karen, tentunya akan terdeteksi oleh SEC. Karena kontrak jual beli LNG antara Pertamina dan CCL sudah dilaporkan ke SEC. Dokumen kontraknya (SPA: Sales & Purchases Agreement) juga bisa diakses oleh publik," jelas Zulkarnain.
Sementara itu Kuasa Hukum Penggugat PwC, Humisar Sahala Panjaitan, menyebutkan bahwa Laporan Audit Investigasi PwC pada bulan Desember 2020 adalah prematur, gegabah, tidak akurat dan menyesatkan kliennya.
Misalnya, dalam salah satu gugatannya, PwC menyebutkan bahwa Karen Agustiawan bekerja di perusahaan Blackstone Inc., yang menurut PwC terafiliasi dengan BlackRock Group Inc., dan Cheniere Energy Inc., sebagai induk perusahaan.
"Sehingga, pengadaan LNG Corpus Christi dengan Pertamina disimpulkan oleh PwC telah menimbulkan conflict of interest antara Karen Agustiawan dengan pihak-pihak terkait," terang Sahala.
Padahal, lanjut Sahala, sebagaimana dijelaskan dalam gugatan, faktanya perusahaan Blackstone Inc., terafiliasi dengan proyek Sabine Pass. Sedangkan Corpus Christi didanai sindikasi BlackRock Group Inc., dan bukan oleh Blackstone Inc.
"Sehingga dasar analisa PwC dalam Laporan Investigasi yang menyimpulkan adanya conflict of interest dalam pengadaan LNG Corpus Christi adalah tidak cermat dan tidak sesuai dengan fakta," tambah Sahala.
Oleh karenanya, kata Sahala, wajar jika kliennya menggugat sampai Rp1,2 Triliun atas Laporan Audit Investigatif PwC yang menyesatkan ini. Karena Laporan tersebut telah dijadikan dasar penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi Pengadaan LNG Corpus Christi oleh KPK.
"Dampaknya kini telah berimbas kepada salah satu klien kami, Karen Agustiawan, yang sudah ditetapkan jadi tersangka sejak 6 Juni 2022, ditahan sejak 19 September 2023, dan saat ini sedang menunggu proses pelimpahan dari KPK ke Pengadilan Tipikor," pungkas Sahala.
Sebagai informasi, PN Jakarta Selatan pada Kamis (1/02/2024) kembali melanjutkan sidang gugatan perdata yang dilayangkan Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan, Mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto, dan Mantan Vice President Business Development and Commercial Gas Pertamina Djohardi Angga Kusumah kepada PT Pricewaterhouse Coopers Consulting Indonesia (PwC). Gugatan ini sudah masuk ke sidang pokok perkara, setelah mediasi yang dilakukan kepada kedua belah pihak tidak menemukan kesepakatan alias deadlock.
Dalam diskusi dengan Awak Media pada Jumat (26/01/2024) lalu, diceritakan bahwa Karen Agustiawan pernah bekerja di Blackstone sebagai Senior Energy Advisor untuk ASEAN pada bulan Februari hingga Desember 2015. Diterima kerja di Blackstone dengan persyaratan yang ketat yang berlaku di internal Blackstone.
Karen direkrut karena pengalaman, rekam jejak dan reputasinya yang sangat baik di dunia migas internasional. Selama karirnya, Karen bekerja di bidang migas, mulai dari Mobil Oil, Halliburton, hingga menjadi CEO Pertamina.
Load more