Selain itu, rumusan Pasal 10 apabila dikaitkan dengan menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak tepat. Selain DPR, maka KPU juga tidak ada kewajiban melakukan revisi sebagaimana dimaksudkan. Lebih dari itu, rumusan Pasal 10 tidak secara langsung mengenai rumusan Peraturan KPU. Hal-hal yang terjadi dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menunjuk adanya persintuhan dan dampak terhadap Peraturan KPU, sehingga ketentuan “huruf e” yakni “kebutuhan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPU” menjadi kunci untuk dapat atau tidaknya dilakukan Rancangan Peraturan KPU. Lebih-lebih lagi nomenklatur yang digunakan adalah “Rancangan”, bukan “Perubahan”.
"Dalil DKPP sebagaimana diutarakan di atas merupakan penyelundupan hukum. Penyelundupan itu terurai dalam tahap konstatir, kualifisir dan konstituir putusan. Meminjam istilah pidana, sepertinya hal tersebut dilakukan “dengan maksud”, “diketahui” dan “dikehendaki”. Disinilah letak rekayasa dan kesesatan terselubung dalam putusan DKPP. Hal ini menjadi cacatan serius, ada apa gerangan dengan DKPP?" katanya
Lalu perlu dipahami menyangkut asas notoire feiten notorious. Asas ini mengatakan bahwa “setiap hal yang sudah menjadi pengetahuan umum” atau “sudah umum diketahui”, maka menurut hukum tidak perlu lagi dibuktikan dalam sidang pengadilan. Postulat demikian telah menjadi kelaziman dalam praktek persidangan, dan disebutkan juga dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP.
Dalam kaitannya dengan perkara a quo, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang pada intinya membatalkan persyaratan batas usia minimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah menjadi “pengetahuan umum”. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi KPU untuk “mendeclare” dengan melakukan perubahan terhadap pasal a quo. Terlebih lagi, kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi adalah sama dan sederajat dengan Undang-Undang (in casu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum).
Menjadi aneh disebutkan bahwa KPU harus melakukan revisi terhadap pasal a quo sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak dilakukan perubahan. Bagaimana penjelasan logisnya, terhadap PKPU direvisi guna menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi Undang-Undang a quo tetap alias tidak mengalami perubahan. Apakah dapat dikatakan, KPU yang tidak melakukan revisi, maka demikian itu tidak sesuai dengan Konstitusi atau dengan kata lain tidak menjalankan Konsitusi? lalu bagaimana dengan DPR? Bukankah setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan suatu norma dalam Undang-Undang tidak memerlukan perubahan terhadap norma yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Lalu dimana letak urgensi dan relevansi bahwa PKPU harus dirubah, padahal Undang-Undang saja tidak dirubah. Disini juga terlihat adanya rekayasa dan kesesatan terselubung dalam pertimbangan hukum putusan DKPP. Semuanya itu dimaksudkan agar terhubung dengan amar putusan yang menjatuhkan sanksi.
"Pada prinsipnya KPU wajib menerima pendaftaran pencalonan Paslon Prabowo-Gibran sebagai Capres dan Cawapres. Kewajiban tersebut melebihi kewajiban yang lainnya, semisal melakukan revisi terlebih dahulu terhadap Pasal 13 ayat (1) huruf q PKPU Nomor 19 Tahun 2023. KPU didalilkan melakukan pelanggaran, namun ternyata tidak ditemukan fakta adanya itikad tidak baik. Putusan DKPP menghindari pembuktian asas bonafides. DKPP melalui putusannya telah melakukan penyelundupan hukum dan rekayasa yang mengandung kesesatan terselubung. Dapat disimpulkan bahwa tindakan KPU telah didasarkan atas aturan dan prosedur (rules and procedures). Hal sebaliknya, putusan DKPP dipertanyakan apakah telah sejalan dengan aturan dan prosedur? Penulis tidak perlu lagi menjelaskan yang sudah jelas," ucapnya. (ebs)
Load more