Jakarta, tvOnenews.com - Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meregulasi dan mengawasi secara ketat penghitungan quick count.
Ketua Tim Penjadwalan TPN Ganjar-Mahfud, Aria Bima beralasan bahwa hal ini mengingat ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga survei belakangan ini semakin meluas.
Dia mendesak KPU dan Bawaslu menegakkan aturan dan kode etik terhadal seluruh lembaga survei yang melakukan quict count. Dia mendesak KPU, Bawaslu, dan lembaga survei terkait membuat pakta integritas.
“KPU dan Bawaslu harus mengatur dengan tegas dan mengawasi quick count yang liar untuk mencegah manipulasi hasil hitung cepat yang dapat memicu gejolak di masyarakat,” kata Aria, Kamis (8/2/2024).
Menurutnya, belakangan ini sejumlah lembaga survei secara serempak diduga melakukan upaya penggiringan opini masyarakat bahwa Pemilu 2024 akan berlangsung satu putaran, dan dimenangkan oleh paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
“Narasi-narasi seperti ‘02 menang satu putaran’ atau ‘pilih yang sudah pasti menang saja’ terus digaungkan secara sistematis, dan termasuk dalam bagian strategi mempengaruhi perilaku memilih masyarakat,” jelas Aria.
“Kami mengajak semua pihak untuk menciptakan situasi politik yang kondusif serta menjauhkan masyarakat dari situasi kebingungan politik yang dapat berpotensi menimbulkan kekacauan pada 14 Februari 2024,” tambah dia.
Selain itu, Aria Bima juga meminta KPU dan Bawaslu untuk memberikan sanksi bagi lembaga survei yang terbukti melakukan quick count dengan tujuan sengaja menguntungkan salah satu pihak, memberikan data yang salah, dan menyesatkan publik.
Dia juga meminta kedua lembaga tersebut memberikan syarat kepada lembaga survei agar membuka metodologi dan sampel yang digunakan.
Selain itu, lembaga survei juga harus bersedia diaudit secara independen dan terbuka menyampaikan sumber dana untuk membiayai quick count.
“Desakan bagi KPU dan Bawaslu ini untuk menciptakan iklim transparansi publik dalam demokrasi di Indonesia, serta menghindarkan proses quick count dari prasangka-prasangka yang tidak produktif,” tuturnya.(saa/lkf)
Load more