“Kami dapat informasi alasannya penghentian adalah karena sistem Sirekap mengalami kendala di pembacaan data. Padahal Sirekap itu bukan metode penghitungan suara yang resmi dan sah. Rujukan perhitungan suara adalah rekapitulasi berjenjang atau C1 manual,” kata Deddy.
Kalaupun alasannya force majeure memang benar adanya, menurut Deddy, seharusnya penghentian proses rekapitulasi hanya dilakukan di daerah terdampak.
“Jadi misalnya gempa bumi atau kerusuhan terjadi di di daerah A, maka penghentian rekapitulasi hanya terjadi di daerah A. Ini kok kami dapat informasi bahwa penghentian terjadi di seluruh Indonesia,” urainya.
Karena itulah, kata dia, muncul analisa dan kecurigaan publik dengan dugaan bahwa ada motif tertentu dibalik penghentian itu.
"Yang pertama adalah menyangkut persaingan ketat PDIP dengan Partai Golkar sebagai peraih kursi terbanyak di pemilu. Kaitannya adalah bahwa peraih kursi terbanyak akan mendapat jatah Ketua DPR," paparnya.
“Kebetulan jumlah suara kedua partai itu berhimpitan. Memang dari jumlah suara PDIP teratas," imbuhnya.
Namun, Deddy mengatakan terkait jumlah kursi, itu kaitannya dengan sebaran suara yang menghasilkan kursi.
Load more