Jakarta, tvOnenews.com - Pakar Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat mengatakan Pemilu 2024 telah meninggalkan luka yang mendalam bagi demokrasi. Dia menuturkan bahwa pihak penyelenggara Pemilu tidak belajar dari pengalaman pesta demokrasi sebelumnya.
Refleksi atas Pemilu 2019 menunjukkan bahwa sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 lainnya sakit, sebuah angka yang terkumpul hingga 9 bulan pasca-pemungutan suara.
Data Kementerian Kesehatan pada H+5 Pemilu 2019 mencatat 91 wafat dan 374 orang sakit. Sementara itu, Pemilu 2024 menunjukkan angka yang tidak kalah tragis, dengan 94 wafat tercatat pada H+7; sebuah angka yang secara bertahap meningkat dari 71 pada H+4 dan 81 pada H+5, makin hari makin meningkat.
"Ironisnya, tindakan pencegahan yang diambil oleh KPU terlihat tidak optimal, dengan screening kesehatan yang dilakukan hanya setelah seseorang diputuskan menjadi petugas KPPS, lebih mirip sebuah formalitas daripada upaya serius untuk mencegah kematian," ungkap dia melalui keterangan resmi, di Jakarta, Kamis (22/2/2024).
Pengaturan syarat usia yang ditetapkan dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan ayat 2 PKPU No. 8 Tahun 2022, yang membatasi usia petugas PPK, PPS, dan KPPS antara 17 hingga 55 tahun, terbukti tidak efektif dalam menghindari tragedi.
"Kematian di kalangan petugas Pemilu menunjukkan bahwa KPU harus bertanggung jawab penuh atas kelalaian ini, karena telah abai dalam mencegah secara serius," jelasnya.
"Tindakan yang diambil terlalu sedikit dan terlambat, memerlukan teguran dan sanksi keras atas kelalaian yang mengakibatkan kematian ini," sambung dia.
Menurut eks Ketua BEM UI ini masalah tersebut membutuhkan lebih dari sekadar permintaan maaf dan tanggung jawab kepada keluarga yang ditinggalkan. KPU harus melakukan introspeksi dan reformasi menyeluruh dalam sistem perekrutan dan pengelolaan petugas Pemilu.
Pertama, screening kesehatan harus dilakukan sejak awal proses perekrutan, dengan kriteria yang lebih ketat dan pemeriksaan yang lebih mendalam. Ini akan memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar sehat dan mampu secara fisik serta mental yang diberi tanggung jawab sebagai petugas Pemilu.
Kedua, sistem pelatihan harus direvisi untuk memastikan petugas Pemilu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang cukup, termasuk manajemen waktu dan stres, yang akan membantu mereka menghadapi tekanan kerja selama Pemilu.
Ketiga, penyediaan fasilitas dan dukungan kesehatan di tempat pemungutan suara (TPS) harus diperkuat, termasuk akses ke layanan medis darurat.
"KPU harus berupaya keras untuk mengurangi beban kerja petugas Pemilu, mungkin dengan meningkatkan jumlah petugas atau mengadopsi teknologi yang dapat memudahkan proses pemungutan dan penghitungan suara," tandas dia.
Penggunaan teknologi digital, misalnya, dapat mengurangi kebutuhan akan proses manual yang melelahkan dan meminimalkan risiko kesalahan yang bisa menambah tekanan pada petugas. (agr/ree)
Load more