“Akibatnya, tanpa disadari, Syak Wasangka cenderung berubah bentuk menjadi logika pelarian atas sebuah ketidakberdayaan,” terangnya.
Meski terlihat subjektif, Syak Wasangka seperti bola salju. Menyebar ke hampir semua lini kehidupan, karenanya tidak heran sifat ini bertaburan di ruang sejarah, ruang perekonomian, sosial budaya, agama, apalagi politik.
Dalam kitabnya yang berjudul "The Paranoid Style in American Politics" terbit tahun 1964, lanjut Idrus, Hofstadter membahas urusan syak wasangka dan paranoid dalam politik Amerika dan memakmurkan permusuhan.
“Syak wasangka juga potensial membesar besarkan pepesan kosong, atau merekayasa hayalan tentang adanya, konspirasi besar yang bertujuan menghancurkan nilai-nilai atau institusi yang dianggap penting,” terang Idrus mengutip pernyataan Hofstadter.
Saat ini, Syak wasangka punya daya retas yang dahsyat. Ia mudah menyebar dan diyakini. Sampai sampai orang orang yang menciptakan prasangka pun yakin kalau prasangka imaginernya adalah kebenaran obyektif.
“Pada skala skala kecil, syak wasangka adalah bumbu sosial yang biasa dan bisa dilakukan oleh orang orang biasa,” terangnya.
Sekedar contoh saja, perang saudara antara suku Hutu dan Tutsi di Rwanda yang menggasak lebih dari 20 persen nyawa warga negaranya berawal dari syak wasangka. Alhasil, tidak berlebihan jika syak wasangka dijuluki bola liar yang sadis.
Load more