"Kalau di masa kecilnya anak-anak suka corat-coret tembok, kami (anak-anak Soekarno dan Fatmawati) sudah mengerti bahwa untuk menjaga bapak/ibu, kami tidak boleh terlalu bagaimana-bagaimana begitu, enggak enaknya kami memang seperti hidup dalam sangkar, begitu turun dari tangga istana menuju taman, itu sudah harus ada yang 'menguntit' atau mengawal," paparnya.
Soal pengasuh, ia juga menceritakan bahwa pengasuhnya bernama Suminah Sastrowijoyo, dimana suaminya adalah seorang ningrat dari Keraton Surakarta, dan Suminah adalah seseorang yang buta huruf.
"Kami memanggilnya Nek Joyo. Dari Nek Joyo, saya dari kecil sudah bisa belajar menyelami kehidupan rakyat kecil dan alam pikirannya rakyat, itu satu. Kedua, saya mendapatkan didikan tentang kesetiaan mengabdi kepada bangsa dan negara," jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, juga banyak hal-hal yang diajarkan oleh Nek Joyo, misalnya ketika dirinya merasa kurang nyaman dengan protokoler, Nek Joyo selalu menasihati bahwa sebagai manusia, kita harus selalu bersabar, karena ada saatnya kita bisa merdeka.
"Ini terlihat biasa saja, tetapi berdampak. Saya dari kecil sudah bisa meresapi rasanya menjadi orang yang tidak merdeka, dan pada tahun 1961 saat Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora), saat kita merebut Irian Barat, di situ kami sudah mengerti bahwa kita harus memerdekakan saudara-saudara kita yang masih dalam belenggu penjajahan Belanda," ucapnya.
Ia juga mengutarakan bahwa dirinya sangat bersyukur dengan cara orang tuanya yang selalu mendidik lewat perbuatan.
"Begitulah cara orang tua saya mendidik tentang kebudayaan, politik, dan lain sebagainya. Saya merasa Bung Karno dan Ibu Fatmawati itu mendidiknya tidak secara verbal, tetapi selalu dengan perbuatan," ucap Guruh. (ant/ree)
Load more