Jakarta, tvonenews.com - Pengamat politik, Ikrar Nusa Bhakti menyoroti suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang terus merangkak naik.
Menurut Ikrar, lonjakan suara PSI pada hasil real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu dikritisi dan dikawal bersama.
Pasalnya, kata dia, dikhawatirkan lonjakan suara partai pimpinan Kaesang Pangarep tersebut akan beririsan dengan penyelundupan hukum.
Sebab, hanya dalam waktu tiga hari, sejak Kamis 29 Februari lalu hingga Sabtu 2 Maret 2024, jumlah suara PSI terus melejit.
Berdasarkan hasil real count KPU, suara PSI bertambah dari 2.171.907 atau 2,86% pada Kamis (29/2/2024) pukul 10.00 WIB menjadi 2.402.268 atau 3,13% pada Sabtu (2/3/2024) pukul 15.00 WIB.
“Ini kalau tidak kita kritisi dan kawal bersama, bukan mustahil suara PSI pada 20 Maret 2024 sudah mencapai 4% atau lebih," kata Ikrar, saat dihubungi, Minggu (3/3/2024).
Menurut dia, harus dilihat lebih lanjut mengenai suara yang masuk tersebut. "Harus ditilik bagaimana suara itu masuk melalui C1 Plano, Kalau PSI berhasil masuk Senayan, maka, bukan mustahil Kaesang maju sebagai kepala daerah,” tutur dia menambahkan.
Terkait lonjakan suara PSI ini, Ikrar menyoroti dinamika di Mahkamah Konstitusi (MK). Dinamika di MK tersebut antara lain, wacana perubahan UU Kepala Daerah, pembuatan UU baru dan bergabungnya mantan Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani sebagai hakim konstitusi.
“Bukan mustahil MK membuat UU baru, yang waktu itu tidak disetujui Pak Mahfud. Syarat usia minimal hakim MK mau direvisi. Saya curiga hal ini untuk mendepak orang-orang seperti Saldi Isra yang saat bergabung ke MK-waktu itu- usianya belum 45 tahun. Penyelundupan hukum seperti yang terjadi ketika Gibran maju sebagai cawapres, sama persis dengan usaha mendepak hakim-hakim yang memiliki kepribadian tinggi,” ungkap dia.
Untuk membuktikan dugaan ini, Ikrar menjadikan jadwal Pilkada dan wacana penunjukkan kepala daerah melalui presiden sebagai tolak ukur.
Jika hal ini terjadi, maka Ikrar meyakini gerakan masyarakat sipil akan terus meluas, bahkan hingga pasca-pelantikan presiden dan wapres terpilih.
“Dulu kita kan berharap presiden akan mendengar ketika kita mengkritisi, ketika kita menulis. Kali ini saya merasa kuping presiden sudah benar-benar tertutup. Saya kira cukup Gibran saja, tetapi ternyata tidak,” tutur Ikrar (rpi/iwh).
Load more