Jakarta, tvOnenews.com - Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi didakwa melakukan pemerasan atau menerima gratifikasi sebesar Rp40 miliar.
Achsanul diduga merekayasa hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) tahun 2022 atas pengadaan menara Base Transceiver Station (BTS) 4G Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung (Kejagung) katakan, uang itu berasal dari Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama dengan sumber uang dari Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan.
Pemberian uang atas perintah Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Achmad Latif. Ketiga pihak tersebut juga merupakan terdakwa dan terpidana.
"Uang tunai sebesar 2,64 juta dolar Amerika Serikat atau sebesar Rp 40 miliar diserahkan kepada terdakwa Achsanul Qosasi dengan maksud supaya terdakwa membantu pemeriksaan pekerjaan BTS 4G 2021 yang dilaksanakan oleh BAKTI Kominfo supaya mendapatkan hasil Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan tidak menemukan kerugian negara," ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Sebagai Anggota III BPK, Achsanul mempunyai tugas untuk memeriksa keuangan negara di bagian Auditorat Keuangan III yang membawahi 38 kementerian dan lembaga.
Satu di antaranya adalah Kemkominfo. Pada tahun 2020, BAKTI Kemkominfo memiliki Program BTS/Lastmile Project berupa pengadaan BTS 4G dan infrastruktur pendukung Kominfo tahun 2021.
Pengadaan BTS tersebut dilaksanakan dengan skema belanja modal (CAPEX) dan dengan target kumulatif sebanyak 7.904 site, yang direncanakan pembangunan tahun 2020 sebanyak 639 site, tahun 2021 sebanyak 4.200 site, dan tahun 2022 sebanyak 3.065 site.
Pekerjaan BTS 2021 menggunakan sumber alokasi anggaran sebesar Rp 11.718.651.399.000 yang dilaksanakan tiga konsorsium.
Ketiganya yakni, Konsorsium Fiber Home PT Telkominfra PT Multi Trans Data (PT MTD) untuk Pekerjaan Paket 1 dan 2; Konsorsium Lintas Arta Huawei SEI untuk Pekerjaan Paket 3; dan Konsorsium IBS dan ZTE untuk pekerjaan Paket 4 dan 5.
Terhadap Program BTS/Lastmile Project 2021, Achsanul membentuk tim pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) dan pemeriksaan laporan keuangan (LK).
Adapun sejumlah temuan PDTT 2021 antara lain proses perencanaan, pemilihan jenis kontrak, dan pelaksanaan kontrak proyek penyediaan BTS 4G dan infrastruktur pendukungnya belum sepenuhnya sesuai ketentuan.
Dalam proses perencanaan, BAKTI seharusnya melakukan survei terlebih dahulu untuk mengidentifikasi kebutuhan.
Namun faktanya, BAKTI melakukan survei sesudah penandatanganan kontrak sehingga mengakibatkan perubahan lokasi, spesifikasi dan nilai kontrak.
Kemudian nilai antara kontrak pembelian berbeda dengan kontrak payung pembangunan BTS 4G tahun 2021 untuk Paket 1, Paket 2, dan Paket 3.
Hal tersebut terjadi karena BAKTI dan penyedia baru melakukan survei setelah kontrak pembelian dan kontrak payung ditandatangani.
Spesifikasi pada kontrak payung dan kontrak pembelian dilakukan berdasarkan hasil desktop study sehingga spesifikasi teknis BTS baru ditetapkan setelah dilaksanakannya Pra DRM yang dituangkan dalam detail desain akhir dengan perbedaan sebesar Rp 5.083.141.746.
Selain itu, terdapat juga potensi pemborosan atas komponen biaya dalam BoQ kontrak payung sebesar Rp 1.550.604.887.030.
Jaksa mengatakan, laporan temuan pemeriksaan dari PDTT dituangkan dalam Konsep Laporan Hasil Pemeriksaan (KLHP) dengan beberapa perubahan seperti perubahan judul dan hilangnya konsep temuan pemeriksaan.
Selain itu, Jaksa pun menyebutkan, bahwa pemeriksaan LK 2021 yang mengacu pada PDTT 2021, klausul kontrak tentang batasan denda maksimal sebesar 5 persen dari nilai kontrak per site tidak sesuai dengan Perdirut BAKTI Nomor 17 Tahun 2020 pada Pasal 35 Ayat (2) yang tidak membatasi besaran denda keterlambatan dan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 batasan maksimal denda sebesar 5 persen telah dihapus dan tidak ada pembatasan atas jumlah hari denda keterlambatan.
“Sehingga pengenaan denda yang harus bayarkan penyedia yang telah dihitung adalah sebesar Rp 819.476.322.097," pungkas jaksa.
Berdasarkan hasil PDTT 2021 dan LK 2021 pada BAKTI Kominfo, Achsanul memanggil Direktur Utama BAKTI Kominfo Anang Achmad Latif pada pertengahan Juni 2022 di ruang kerjanya di BPK, Slipi, Jakarta Pusat.
Di sana, Achsanul menanyakan Anang apakah sudah membaca draf laporan hasil pemeriksaan atau belum. Anang menjawab sudah membaca. Menurut dia, hasil laporan memberatkan dirinya.
Selanjutnya, Achsanul menyampaikan kepada Anang, bakal ada PDTT lanjutan terhadap proyek BTS 4G.
"Mendengar itu, Anang Achmad Latif hanya terdiam. Kemudian terdakwa Achsanul Qosasi mengatakan 'tolong siapkan 40 miliar', sambil menyodorkan kertas yang berisikan tulisan nama penerima dan nomor telepon," beber jaksa.
"Terdakwa mengatakan 'ini nama dan nomor telepon penerimanya dan kodenya GARUDA'. Beberapa hari kemudian Anang Achmad Latif menelepon Irwan Hermawan dan Windi Purnama untuk menyiapkan Rp 40 miliar," sambung jaksa.
Penyerahan uang tersebut melibatkan Sadikin Rusli dari pihak Achsanul dan Windi Purnama dari pihak Anang. Uang yang tersimpan di dalam koper diserahkan di basement Hotel Grand Hyatt, Jakarta.
Saat itu, Sadikin Rusli memesan dua kamar. Setelah transaksi selesai, Achsanul meluncur ke hotel tersebut.
"Sadikin Rusli bersama dengan stafnya yang bernama Arviana membuka koper tersebut. Sadikin Rusli melihat di dalam koper berisi uang dengan pecahan 100 dolar AS catatan yang menyatakan Rp 40 miliar," ungkap jaksa.
"Selanjutnya Sadikin Rusli segera turun di ujung atas eskalator depan lobi hotel menunggu terdakwa Achsanul Qosasi. Sekitar 20 menit kemudian terdakwa datang, bersama-sama Sadikin Rusli bersama-sama naik ke kamar Sadikin Rusli. Terdakwa menanyakan "lo ada kamar lain? Gua mau kencing'," lanjut jaksa.
Setelah buang air kecil, Achsanul dan Sadikin menuju kamar lainnya untuk penyerahan uang.
Atas perbuatannya, Achsanul didakwa melanggar Pasal 12 huruf e Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) atau Pasal 5 ayat 2 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 11 UU Tipikor atau Pasal 12 B UU Tipikor. (aag)
Load more