Jakarta, tvOnenews.com - Seperempat abad reformasi Indonesia perlu dievaluasi, terutama terkait kualitas pemimpin yang dilahirkan.
Pemilu 2024 memicu perdebatan tentang arah bangsa, mempertanyakan tujuan akhir perjuangan Indonesia.
Analis Komunikasi Politik, Hendri Satrio selaku host acara “Refleksi Seperempat Abad Reformasi” menanyakan kepada Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said mengenai inti permasalahan yang harus diangkat dari seperempat abad perjalanan reformasi.
Menjawab pertanyaan tersebut Sudirman Said menyadari kondisi kepemimpinan Indonesia saat ini sudah sangat mencemaskan dan jauh dari agenda reformasi 1998.
Bagi Sudirman di samping praktik korupsi yang makin merajalela, kolusi dan nepotisme telah dipraktikkan secara telanjang oleh pimpinan tertinggi negara.
“Salah satu agenda reformasi 98 adalah menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun dalam sepuluh tahun terakhir Presiden Jokowi telah merusak demokrasi dan melemahkan lembaga-lembaga kontrol sehingga menyuburkan praktek korupsi. Bahkan kolusi dan nepotisme telah dipraktikkan secara telanjang,” ujar Sudirman pada agenda press briefing “Refleksi Seperempat Abad Reformasi”, dikutip Jumat (15/3/2024).
Sudirman menyoroti perilaku KKN yang semakin marak bahkan sampai ke tingkat daerah.
Hal itu tampak dari adanya satu keluarga yang masuk ke dunia politik secara bersama-sama.
“Wabah KKN merebak ke segala lapisan dan penjuru, mewabahi perilaku para pimpinan. Kita lihat bagaimana rombongan keluarga bisa memasuki ranah politik secara berjamaah. Kita temukan juga banyak sekali anak-anak muda yang kebetulan merupakan anak dari pejabat tinggi negara ramai-ramai masuk ke DPR,” ungkapnya.
Ia mengaku cemas karena praktik KKN telah dianggap sebagai hal wajar bagi para elit politik dan dapat mencederai kriteria pemimpin di kemudian hari.
“Kita cemas karena praktik nepotisme kini dianggap lumrah, tapi positifnya kita punya banyak kader muda. Bahanya adalah mereka masuk bukan karena memiliki kriteria tertentu tapi hanya karena anaknya siapa, dan suami atau istrinya siapa,” terangnya.
Namun mantan menteri ESDM ini masih memiliki harapan dengan melihat bangsa Indonesia masih memiliki kemampuan dan sejarah yang kuat dalam mengoreksi keadaan yang tidak ideal.
“Bangsa ini memiliki kemampuan koreksi, merespons dalam melakukan perbaikan keadaan yang tidak pas. Ini akan menjadi momentum bagi para guru besar dan masyarakat sipil untuk betul-betul melakukan perbaikan dari sisi kepemimpinan,” kata Sudirman. (agr/muu)
Load more