"Ada yang tulisannya bagus, tapi ada sebagian besar yang tulisannya kurang bagus bahkan jelek, saya sendiri tulisannya jelek," ungkap dia.
Dia menjelaskan setiap orang punya gaya tulis berbeda, bahkan punya persepsi berbeda menulis angka 4 misalnya, atau bahkan angka 1.
"OCR itu kalau di laboratorium akurasinya 99 persen, jadi masih ada kemungkinan eror 1 persen di sana. Tapi kalau dipakai di lapangan bisa lebih rendah lagi, paling tinggi 92,93 persen, jadi masih ada salah ketika OCR ini merubah gambar menjadi angka," tegasnya.
Sumber masalah kedua muncul lewat device yang digunakan oleh petugas KPPS. Karena Sirekap mobile berbasis aplikasi, sehingga tergantung device yang digunakan masih mumpuni atau tidak menjalani aplikasi Sirekap.
"Kita tahu HP itu beda-beda mereknya, beda-beda kualitasnya. Ada yang kameranya bagus, ada yang kurang bagus, resolusinya beda. Akibatnya terjadi seperti contoh di atas, form C1 bisa beda-beda ada yang jelas, ada yang buram," urainya.
Dan sumber masalah terakhir dikarena kualitas kertas. Ada beberapa kasus yang dipaparkan oleh Marsudi, salah satunya polemik kertas terlipat yang menimbulkan kesalahan interpretasi OCR.
"Karena OCR ini bukan lah manusia yang bisa memperkirakan, dia hanya patuh kepada training data. Jadi dia diberikan data tulisan tangan angka, tapi kalau gambarnya seperti ini jadi masalah," tandasnya. (agr/ree)
Load more