Jakarta, tvOnenews.com - Eks Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab (HRS) menegaskan bahwa ia tak peduli paslon 01, 02 atau 03 yang menang Pilpres 2024 tapi..
Namun, kata HRS bahwa terpenting ialah Indonesia memiliki Presiden bukan hasil dari praktik kecurangan.
Hal itu disampaikan HRS di depan para jemaahnya jelang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pilpres 2024.
"Saya bicara di sini, bukan (mendukung) 01, 02, atau 03, saya gak ada urusan. Kalau memang 01 menang secara jujur, 02 menang secara jujur, 03 menang secara jujur, kita hormati, kita akui, silahkan pimpin bangsa ini," ucap HRS seperti dikutip, Kamis (18/4/2024).
Ditegaskan oleh Rizieq bahwa praktik kecurangan di kontestasi Pilpres tidak boleh dibiarkan, masyarakat sudah melihat secara terang benderang praktik tersebut.
"Tapi nilai kejujuran jangan dirobohkan, nilai keadilan jangan diruntuhkan, kita tidak butuh pemimpin yang curang, kita anti pemimpin curang, kita anti kecurangan, kita anti kemungkaran, kita wajib segala bentuk kecurangan dan kedzaliman," tegas HRS.
HRS di depan para pendukungnya menegaskan bahwa pengadilan di MK terkait sengketa hasil Pilpres 2024 sangat penting dan itu sebagai penunjuk apakah ada kecurangan atau tidak.
Dan ia yakin, selama proses persidangan itu masyarakat Indonesia bisa melihat bagaimana praktik kecurangan itu ada di Pilpres 2024.
"Itu sudah terang benderang dan gak bisa dipungkiri lagi, masyarakat Indonesia kalau mengikuti persidangan tersebut, terang benderang terlihat ada kecurangan atau tidak di Pilpres," ujarnya.
Sebelumnya, Habib Rizieq Shihab ikut mengajukan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (17/4/2024) sore.
Pengajuan amicus curiae dilakukan Habib Rizieq sebagai bentuk keprihatinan atas masalah bangsa dan negara.
Terutama untuk untuk membantu meluruskan persoalan sengketa Pilpres 2024.
Berikut 4 poin pendapat Habib Rizieq dan tokoh lain dalam dokumen amicus curiae.
Pertama
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara yang dihasilkan dari rahim reformasi, adalah dimaksudkan sebagai Guardian of Contitution (Pasukan Penjaga Konstitusi) yang tugas pokok dan fungsinya adalah untuk mencegah terulangnya praktek- praktek maupun perilaku dari penyelenggara yang melakukan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).
Adapaun kita sebagai bangsa dan negara telah mengalami sebanyak dua rezim, yaitu rezim Orde Lama dan rezim Orde Baru yang telah secara sengaja menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) sehingga negara dan bangsa mengalami goncangan ekonomi, shock of mentality, berbagai peristiwa pelanggaran HAM Berat seperti extra judicial killing, arbitrary detention, konflik berbasis SARA yang kesemuanya berawal dari penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara, tanpa ada kelembagaan yang mengingatkan dan mencegah serta mampu menghentikan perilaku dan praktek abuse of power tersebut.
Oleh karena itu, kami berharap, Mahkamah Konstitusi, sebagai kekuatan balancing of power yang merupakan bagian dari trias politica, agar dapat kembali meluruskan perjalan bangsa dan negara ini, kembali pada rel konstulitusi yang berdasarkan pada keadilan dan berorientasi pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua
Bahwa adalah Kewajiban hakim untuk "menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat", sebagaimana telah ditetapkan melalui Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Hal ini berlaku untuk seluruh hakim di seluruh lingkup peradilan maupun tingkat pengadilan di Indonesia, termasuk Hakim Konstitusi yang mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden tahun 2024, dalam register perkara Nomor ; 1 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024.
Untuk itu kami berharap, agar Yang Mulia Hakim Konstitusi, secara sungguh-sungguh menggunakan kewenangan yang diatur oleh konstitusi dan perundangan dibawahnya, untuk mencapai tujuan hukum yaitu berupa tegaknya keadilan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara, terjaminnya pelaksanaan dan penyelenggaraan negara yang berdasarkan etika dan tidak memberi ruang bagi terjadinya conflict of interest dalam penyelenggaraan negara diseluruh aspek.
Ketiga
Kami menilai, setelah dua rezim terdahulu, yaitu rezim Orde Lama dan Orde Baru, yang telah menyelewengkan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bermula dari adanya conflict of interest dalam penyelenggaraan negara, telah terlihat tanda-tanda dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dikarenakan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) dari pucuk pimpinan pemerintahan yaitu Presiden RI.
Keempat
Kita semua telah mengalami, betapa buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara yang bersendikan otoritarianisme, diktatorisme, opresif, represif, korupsi, kolusi dan nepotisme serta dinasti politik yang mengakibatkan penyakit kebodohan struktural dan kemiskinan struktural yang sangat bertentangan dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana yang tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945.
Kami mendesak kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi, untuk mengembalikan kehidupan berbangsa dan bernegara kepada tujuan sebagaimana pembukaan UUD 1945. (ebs)
Load more