Jakarta, tvOnenews.com - Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) mengatakan permohonan yang diajukan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 seharusnya diputus dengan amar mengabulkan sebagian.
“Dalam pokok perkara, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Arief membacakan pendapat berbedanya atas putusan gugatan Anies-Muhaimin dalam sidang pembacaan putusan PHPU Pilpres 2024 di Gedung I MK RI, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Siapa Hakim Konstitusi Arief Hidayat? Arief menjabat hakim MK sejak 1 April 2013 di Istana Negara, ia berdiri di hadapan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan sumpah jabatan sebagai satu dari sembilan ‘pilar’ Mahkamah Konstitusi. Tak sampai di situ, Arief pun menggantikan Moh. Mahfud MD yang mengakhiri masa jabatan yang telah diembannya sejak 2008.
Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tersebut mengisahkan tak pernah sekalipun terlintas dalam pikirannya untuk duduk dalam posisinya sekarang sebagai seorang hakim konstitusi. Sedari kecil, ia hanya memiliki satu cita-cita, yakni menjadi seorang pengajar. Namun ketika ditanya alasannya mendalami ilmu hukum, Arief mengungkapkan sejak SMU, kecenderungan dalam dirinya tertarik pada pelajaran ilmu pengetahuan sosial.
“Saya selalu tertarik pada kasus-kasus penegakan hukum terutama karena saat itu masih ada rezim otoriter. Nama-nama seperti Yap Thiam Hien, Suardi Tasrif dan Adnan Buyung menginspirasi saya untuk kuliah fakultas hukum, padahal tadinya saya berniat untuk kuliah di fakultas ilmu politik. Tapi setelah menjadi guru besar, saya memahami kalau ilmu hukum tidak bisa terlepas dari ilmu politik,” kenang pria kelahiran 3 Februari 1956.
Arief mengisahkan, lima tahun lalu mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, pernah mendorongnya untuk maju sebagai hakim konstitusi. Namun, karena saat itu dia masih memegang jabatan sebagai dekan, maka dorongan itu tak bisa dipenuhinya. “Menjadi seorang hakim konstitusi merupakan posisi yang mulia dan waktu itu saya belum berani mengambil posisi mulia itu,” ujarnya.
Menurut Arief, amar putusan seharusnya menyatakan batal Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilu Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang daerah pemilihan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara.
Kemudian, dia menilai, Mahkamah seharusnya memerintahkan kepada KPU RI untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan yang disebutkan dalam waktu 60 hari terhitung sejak putusan diucapkan.
Lebih lanjut, Arief berpendapat Mahkamah seharusnya memerintahkan Bawaslu RI mengawasi pemungutan suara ulang; memerintahkan Polri dan TNI menjaga keamanan dan keterlibatan dalam proses pemungutan suara ulang secara profesional dan netral.
Dia menambahkan, MK seharusnya memutus untuk memerintahkan Presiden RI bersikap imparsial dan netral dalam proses pemungutan suara ulang; serta melarang adanya pembagian bansos sebelum dan pada saat pemungutan suara ulang.
Diketahui, MK membacakan putusan dua perkara sengketa Pilpres 2024 pada hari Senin, 22 April 2024. Ketua MK Suhartoyo mengetuk palu pada pukul 08.59 WIB sebagai penanda dimulainya sidang sengketa pilpres tersebut.
Dua perkara PHPU Pilpres 2024 diajukan oleh Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Gugatan yang diajukan oleh Anies-Muhaimin teregistrasi dengan Nomor Perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024, sementara gugatan Ganjar-Mahfud teregistrasi dengan Nomor Perkara 2/PHPU.PRES-XXII/2024.
Dalam amar putusannya, MK menolak seluruh permohonan yang diajukan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Pranowo. Menurut MK, permohonan kedua kubu tersebut tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Atas putusan itu, terdapat dissenting opinion dari tiga Hakim Konstitusi, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat. (ebs)
Load more