Jakarta, tvOnenews.com - Perusahaan farmasi raksasa AstraZeneca digugat atas klaim bahwa vaksinnya itu, yang dikembangkan di Universitas Oxford, menyebabkan kematian serta cedera serius pada beberapa kasus.
Pada Februari, gugatan pertama dilayangkan ke Pengadilan Tinggi Inggris oleh Jamie Scott, seorang pria beranak dua yang mengalami cedera otak serius setelah mengalami penggumpalan darah dan pendarahan di otak usai mendapatkan vaksin itu pada April 2021. Akibatnya, Jamie tidak dapat bekerja.
Rumah sakit yang merawatnya pun menghubungi istrinya tiga kali untuk memberitahu bahwa suaminya sekarat.
AstraZeneca membantah hal tersebut, namun mengakui dalam dokumen legal pada Februari bahwa ada kemungkinan sangat langka bahwa vaksin COVID mereka dapat menyebabkan TTS.
"Diakui bahwa vaksin AZ dapat menyebabkan TTS pada sebagian kecil kasus-kasus tertentu. Mekanisme penyebabnya tidak diketahui," kata perusahaan itu dalam dokumennya.
"Selain itu, TTS dapat terjadi tanpa adanya vaksin AZ. Penyebab di kasus perorangan tergantung pada bukti ahli," ujar mereka.
Sebanyak 51 gugatan dilayangkan oleh para korban dan keluarganya, yang meminta ganti rugi sebesar 100 juta pound (sekitar Rp 2 triliun).
Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Hinky Satari mengatakan bahwa sindrom trombosis with trombositopenia (TTS) setelah pemakaian vaksin AstraZeneca adalah efek yang sangat jarang ditemui.
Ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (1/5/2024), Hinky mengatakan dari berbagai tahapan uji klinis vaksin COVID-19 yang melibatkan jutaan orang, efek samping tersebut jarang ditemui, dan kalaupun ada jarang yang bersifat serius.
Dia menjelaskan bahwa dari berbagai laporan mengenai KIPI yang masuk, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun mengeluarkan rekomendasi untuk surveilans aktif bagi vaksin AstraZeneca serta sejumlah vaksin lain selama setahun guna pemantauan.
Hinky menuturkan, Komnas KIPI beserta Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan pun melakukan surveilans aktif di tujuh provinsi, yaitu di 14 rumah sakit dengan kelengkapan berupa tenaga kesehatan, fasilitas, dan laboratorium yang baik guna pendataan yang baik.
"Dari data-data yang dikumpulkan selama setahun, dibandingkan juga dengan data sebelum vaksin COVID diintroduksi, karena rumah sakit itu kan datanya lengkap, ternyata nggak ada peningkatan TTS dan juga nggak ada kasus TTS dilaporkan selama setahun itu," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya tetap merekomendasikan vaksin tersebut, dan tidak ada laporan yang serius terutama untuk TTS.
TTS menyebabkan penderita mengalami pembekuan darah serta trombosit darah yang rendah.
Sebelumnya, di media dikabarkan bahwa dalam sebuah dokumen pengadilan AstraZeneca mengakui bahwa vaksin COVID-19 buatannya menyebabkan efek samping yang langka. (ebs)
Load more