"Pertama, Pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi," katanya.
IJTI memandang pasal tersebut telah menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan, sehingga pertanyaan besarnya, kata Herik, mengapa RUU ini melarang televisi menayangkan secara eksklusif karya jurnalsitik investigasi?
"Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik, maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigas disiarkan di televisi," tegasnya.
Herik mengatakan, secara subtansi pasal pelarangan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi di televisi bisa diartikan sebagai upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air.
"Upaya ini tentu sebagai suatu ancaman serius bagi kehidupan pers yang tengah dibangun bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Tidak hanya itu, dikhawatirkan revisi RUU Penyiaran akan menjadi alat kekuasan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri kerja-kerja jurnalistik yang profesional dan berkualitas," tuturnya.
Kedua, Pasal 50 B ayat 2 huruf k, penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
"Pasal ini sangat multi tafsir terlebih yeng menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI memandang pasal yang multi tafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis/pers," terang Herik.
Load more