Jakarta, tvOnenews.com - Babak baru bergulirnya kasus pembunuhan dan pemerkosaan Vina Cirebon kini kian semrawut.
Selain sulitnya penuntasan kasus Vina, penegak hukum saat ini semakin dipusingkan dengan dugaan adanya peradilan sesat seiring dengan pengakuan para terpidana dan tersangka ke publik.
Sebagai contoh adalah pengakuan dari tersangka Pegi alias Perong yang sebelumnya dinyatakan buron atau DPO.
Setelah ditangkap, Pegi atau Perong melalui keluarga dan pengacaranya ternyata mengaku korban salah tangkap.
Bahkan saat dirilis dalam konferensi pers di Polda Jabar, Minggu (26/5/2024) siang, Pegi alias Perong nekat berteriak di hadapan polisi dan wartawan bahwa dirinya tidak bersalah.
Suara Pegi yang dihalangi polisi sayup-sayup terdengar mengatakan, “Saya tidak terlibat, saya tidak terlibat. Saya lebih baik mati”.
Selain itu, pengakuan terpidana Saka Tatal dan Rivaldi Aditya Wardana alias Ucil juga sarat akan kejanggalan.
Terpidana Saka Tatal yang telah bebas mengatakan bahwa dulunya ia terpaksa mengaku terlibat pembunuhan Vina dan Eky karena tidak kuat disiksa polisi.
Begitu juga dengan Rivaldi alias Ucil yang mengklaim lebih parah lagi lantaran ia sebenarnya adalah pelaku tindak kejahatan lain yang tidak ada hubungannya dengan kasus Vina dan sudah lebih dulu masuk penjara ketimbang 7 terpidana lain.
Namun demikian, Polisi mengatakan bahwa keterangan saksi dan pelaku dalam kasus Vina Cirebon itu sudah teruji di pengadilan.
"Terkait salah tangkap, semua sudah diuji di pengadilan. Jadi apapun keterangan yang pernah disampaikan para pelaku ini sudah diuji oleh pengadilan bahkan sampai ke tingkat kasasi dan itu sudah vonis. Jadi tidak perlu dipersoalkan lagi ya. Tidak ada salah tangkap," terang Dirkrimum Polda Jabar Kombes Surawan dalam konferensi pers kasus Vina di Polda Jabar, Minggu siang.
Terkait hal tersebut, sebelumnya Eks Kabareskrim Polri Susno Duadji sampai angkat bicara menyatakan keprihatinannya.
Susno Duadji khawatir jika proses penanganan kasus Vina ini mirip dengan kasus peradilan sesat Sengkon dan Karta pada tahun 1970-an silam.
"Hukum di Indonesia ini harus diperbaiki. Mari kita jangan terlalu menjunjung 'wah ini sudah pasti benar karena sudah melalui tiga lembaga empat lembaga' kan ada kasus Sengkon dan Karta yang salah hukum. Itu sudah melalui Polisi, Jaksa, Hakim, dan ternyata bukan Sengkon dan Karta," kata Susno kepada tvOne, Sabtu (25/5/2024).
Susno mengatakan, tidak menutup kemungkinan apa yang diputuskan para aparat penegak hukum dari berbagai lapisan bisa terjadi kesalahan.
Namun, tentu hal itu perlu pembuktian hukum lanjutan salah satunya dengan upaya luar biasa peninjauan kembali atau PK.
"Jadi selama ini dilakukan oleh manusia, tidak menutup kemungkinan ada kesalahan."
"Tapi saya tidak mengatakan bahwa ini salah, harus dibuktikan secara hukum bahwa proses ini salah. Itu harus dibuktikan secara hukum,"
Susno Duadji menyampaikan, seandainya apa yang dikatakan pengacara para terpidana dan tersangka benar, maka penyidikan yang sudah sah hingga pengadilan bisa dibatalkan melalui PK.
"Jalan keluar untuk yang sudah dijatuhi vonis, ada yang seumur hidup, jalan keluarnya masih ada satu pintu yaitu pintu peninjauan kembali," kata Susno.
Maka dari itu, pendampingan hukum terhadap para tersangka dan terpidana sangat diperlukan agar tidak terjadi penyelewengan proses peradilan.
Disamping itu, para pengacara perlu mengumpulkan bukti-bukti sebanyak mungkin agar klaim dan dugaan pelanggaran proses peradilan dapat dilawan dengan upaya PK.
"Karena ancaman hukuman dari perkara ini di atas lima tahun bahkan bisa hukuman mati, makanya dijatuhi seumur hidup, itu tidak boleh. Harus didampingi pengacara saat penyidikan," tegas Susno.
Peradilan sesat dalam sebuah perkara pidana dapat dimulai dari kesalahan yang dilakukan oleh penyidik (Kepolisian) dalam melakukan tugasnya melakukan penyidikan.
Pada saat terjadinya perkara pidana, kesalahan Polisi tersebut bisa dilakukan dengan sengaja maupun tidak.
Dalam konteks tersebut, kekeliruan yang terjadi kemudian terus berlanjut pada saat berkas dilimpahkan kepada jaksa penuntut umum, yang dibenarkannya melalui surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum.
Selanjutnya pada saat sidang di pengadilan, kesalahan yang terjadi kemudian terus dipertahankan terus, sehingga munculah vonis pengadilan yang didapat dari bahan-bahan yang salah sejak awal.
Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, salah satu contoh peradilan sesat yang pernah terjadi Kasus Sengkon dan Karta, dua petani asal Kampung Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat yang divonis pada medio 1974-1981.
Dua petani bernasib malang itu divonis bersalah melakukan perampokan dan pembunuhan kepada korban bernama Sulaiman dan Istrinya (Siti Haya).
Akibatnya, Sengkon dan Karta dijebloskan ke LP Cipinang dengan hukuman masing-masing 12 tahun dan 7 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bekasi dalam perkara Nomor: 2/KTS/Bks/1977 tanggal 20 Oktober tahun 1977, serta dikuatkan oleh Pengadilan tingkat Banding yaitu Pengadilan Tinggi Bandung.
Sengkon dan Karta awalnya menolak tudingan pembunuhan tersebut. Tetapi karena tidak kuat dengan siksaan yang dilakukan polisi, maka keduanya terpaksa mengakui tindak kejahatan tersebut.
Di Kemudian hari, terkuak bahwa pembunuh yang sebenarnya ternyata adalah pelaku bernama Gunel (keponakan Sengkon), Elli dan kawan-kawannya.
Peradilan sesat dalam perkara pidana kematian Sulaiman dan Siti haya terjadi karena penyidik (Polisi) sejak awal berkesimpulan bahwa pelakunya adalah Sengkon dan Karta.
Selanjutnya, Jaksa memformulasikannya dalam surat dakwaan terhadap keduanya, dan pada ujungnya Pengadilan Negeri Bekasi membenarkan kejadian tersebut dengan memvonis Sengkon dan Karta secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan dengan hukuman masing-masing 12 tahun dan 7 tahun penjara, dan putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung.
Apesnya, pidana pada Sengkon dan Karta sudah menjadi putusan hukum yang berkekuatan tetap sehingga tidak bisa langsung bebas setelah tersangka yang asli ditemukan.
Akhirnya sejumlah pihak dari mulai hakim hingga politisi membantu pembebasan Sengkon dan Karta. Dari kasus tersebut, lahirlah mekanisme hukum baru yakni peninjauan kembali atau PK.
Kisah dua petani dari Bojongsari yang juga diangkat dalam Puisi Mata Luka Sengkon Karta oleh penyair Peri Sandi Huizche tersebut adalah contoh paling fenomenal tentang mirisnya penegakan hukum di Indonesia pada masa silam.
Lantas, apakah saat sekarang kasus serupa masih terjadi dan menimpa rawan orang-orang kelas bawah yang tidak mengerti hukum? Tentu diharapkan tidak.
Namun melihat semakin ruwetnya kasus Vina, ada potensi peradilan sesat tersebut terjadi dan menimpa para tertuduh yang semuanya kebetulan adalah kaum-kaum kelas bawah dan awam hukum.
Jika menengok seabrek kontroversi dalam penanganan kasus Vina Cirebon, sepintas memang terkesan adanya peradilan sesat.
Oleh sebab itu, menarik untuk dinantikan apakah penuntasan kasus pembunuhan Vina dan Eky ke depan memang sudah sesuai prosedur atau justru ada penyelewengan. Sampai tahap ini, marwah penegak hukum dalam hal ini Polisi, Jaksa, dan Hakim dipertaruhkan. (rpi)
Load more