Jakarta, tvOnenews.com - Aksi pengeroyokan yang menewaskan pengusaha rental mobil berinisial BH di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah dipicu ketidakpuasan masyarakat, terutama terkait dengan penegakan hukum.
Menurut dosen Departemen Kriminologi, FISIP Universitas Indonesia (UI), Nuruddin Lazuardi aksi kekerasan dalam proses main hakim sendiri bisa ditimbulkan dari bermacam hal.
“Ada berbagai variabel yang melekat dalam proses main hakim sendiri, salah satunya adalah ketidakpuasan terhadap tekanan situasi apakah itu ekonomi, politik maupun hukum. Apa yang terlihat di Sukolilo bisa dikatakan, bahwa mereka sudah apatis terhadap hukum, mereka sudah tidak puas dengan situasi saat ini,” kata Nuruddin kepada wartawan, Rabu (12/6).
Aksi kekerasan terhadap pemilik rental itu bermula ketika BH (bos rental) dan tiga orang lainnya SH (28), KB (54) serta AS (37) mencari mobil rental yang hilang.
Berdasarkan penelusuran GPS yang mereka lakukan, mobil itu ada di wilayah Sukolilo.
Mereka lantas berangkat ke lokasi untuk mencari keberadaan mobil tersebut dan tiba di Sukolilo pada Kamis (6/6) sekitar pukul 13.00 WIB dan menemukan mobil yang dicari.
Rombongan rental itu berupaya mengambil mobil dengan kunci cadangan. Nahas, warga yang tengah melintas dan melihatnya mengira BH dan ketiga orang lainnya adalah maling.
Warga lalu berteriak hingga masa berdatangan. Akibatnya keempat orang itu diamuk massa hingga babak belur. Selain itu, mobil yang dikendarai keempatnya dari Jakarta ke Pati, juga habis dibakar massa.
Nuruddin juga menyoroti lambannya aparat kepolisian dan pemerintah membenahi wilayah Sukolilo yang disebut sebagai wilayah yang selama ini dikenal sebagai ‘sarang kejahatan’.
“Saya berani mengatakan bahwa ini sudah masuk konsep kekerasan kultural jika mengutip sosiolog Jerman Johan Goltung. Coba lihat ada satu video TikToker yang mengatakan 'Ini Sukolilo bos, jangan main-main'” jelas dia.
Menurut Nuruddin, jika Sukolilo dikatakan sebagai sebuah kampung sindikat, itu bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba.
“Sukolilo disebut sebagai sebuah kampung sindikat kejahatan itu kan melalui suatu proses. Suatu proses di mana ada keluhan masyarakat, ada banyak stigma-stigma yang dimunculkan oleh publik terhadap area itu,” katanya.
Nuruddin mengatakan, ketika stempel atau labeling ‘sarang kejahatan’ itu melekat pada wilayah Sukolilo, seharusnya ada upaya untuk membenahinya.
“Stempel itu melekat karena tidak dilakukan hal hal untuk membenahi atau meminimalisir agar menjadi wilayah yang lebih baik," kata dia.
Menjadi pertanyaan jika wilayah yang dikatakan selama ini menjadi tempat berkumpulnya para pelaku kejahatan namun dibiarkan.
“Apa yang seharusnya dilakukan aparat penegak hukum, apa yang harus dilakukan pemerintah, kita bicara pencegahan, itu menjadi ranah penegak hukum dan aparat terkait lainnya,” katanya.
Selain itu, Nuruddin juga menyoroti fenomena media sosial yang menurutnya juga memicu aksi main hakim sendiri di masyarakat.
“Saya melihatnya begini, bahwa dari video-video yang beredar bagaimana aksi kekerasan itu dilakukan, sekilas terlihat bahwa mereka merasa tidak bersalah ketika melakukannya. Mereka melakukannnya dengan semangat, melakukannya dengan antusias jadi seolah-olah tidak ada rasa bersalah atau malah mungkin kalau menafsirkannya seolah-olah mereka melakukan kebaikan terhadap kejahatan yang dilakukan,” katanya.
Di era new media, lanjut Nuruddin, semua orang bisa mendapatkan suplai tontonan kekerasan.
“Yang menonjol kemarin adalah aksi kekerasan anak, Mario Dandy. Belum lagi video-video kekerasan lainnya. Dan seiring berjalannya waktu, timbul copy cat, oleh individu atau kelompok,” katanya.
“Peristiwa di Sukolilo ini sebuah gambaran bahwa itu bukan lagi jenis kekerasan yang langsung tapi sudah menjadi kekerasan kultural, ini sudah menjadi budaya,” pungkasnya.(mhs/muu)
Load more