Narasumber ketiga, Dr. Mikdar Rusdi, M.A., dosen dari Kolej Universiti Perguruan Ugama Seri Begawan, Brunei Darussalam, cenderung sepakat dengan Muhammad Nuruddin. Beliau menambahkan bahwa pengkajian tentang pemahaman Al-Qur’an haruslah berkaitan dengan kemajuan.
Dalam responsnya, Prof. Dr. Mun’im Sirry menyampaikan kritik terhadap pandangan Muhammad Nuruddin. “Kesalahan Nuruddin adalah karena cara pandang yang salah, karena menurutnya cara pandang itu hanya ‘either or fallacy’, tanpa memikirkan pandangan alternatif. Selain itu, ayat tentang ancaman ‘neraka syaqor’ adalah ucapan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah ucapan nabi dan tidak berdasarkan wahyu, sedangkan saya dan juga para ulama yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah wa kalamu rasulillah berpandangan bahwa tetap, Al-Qur’an pun adalah kalamullah, berbeda dengan yang dituduhkan kaum musyrik.”
Menanggapi hal tersebut, Muhammad Nuruddin menegaskan kembali posisinya. “Saya belajar ilmu logika tidak menemukan adanya either or fallacy yang ada justru hukum kontradiksi, bahwa dua hal yang bertentangan itu tidak mungkin terhimpun. Contohnya, apakah mungkin ‘ini PTIQ dan ini bukan PTIQ dan kemungkinan ketiga’. Jadi ketika ada pernyataan ini PTIQ, maka pernyataan ini bukan PTIQ itu salah.”
Seminar ini diakhiri dengan sesi tanya jawab yang sangat dinamis, menunjukkan tingginya antusiasme dan minat peserta terhadap topik yang dibahas. Diskusi paralel yang dilaksanakan setelah seminar utama juga berjalan dengan sukses, memperkaya wawasan para peserta mengenai studi Al-Qur’an. Acara ini diharapkan dapat terus memperkuat peran Universitas PTIQ Jakarta sebagai pusat studi Al-Qur’an terkemuka di dunia. (ebs)
Load more