Empat kasus melanggar pasal 198A menghalang-halangi penyelenggara pemilihan dalam menjalankan tugas, tiga kasus melanggar pasal 187A ayat 2 pemilih menerima imbalan atau janji, pasal 187A ayat 4 mengacaukan, menghalangi atau menggangu jalannya kampanye serta 19 kasus melanggar sejumlah pasal Undang-undang Pilkada.
"Kenapa panitia KPPS itu harus penduduk setempat, maksudnya untuk mengenal siapa yang akan dia pilih, siapa yang memilih pada saat itu. Inilah kemudian teman-teman KPU dan Bawaslu selektif memilih penyelenggara adhoc dibawahnya, karena itu penting," jelasnya.
Selanjutnya, untuk praktik politik uang dalam hal ini pemberi dan penerima pada Pemilu 2024 hanya pemberi yang dikenakan pidana, sedangkan penerima tidak. Berbeda dengan pemilihan, pemberi dan penerima sama-sama dikenakan pidana sama halnya dihukum Islam.
"Ini dua-duanya kena di pemilihan. Jadi, kemungkinan yang lapor ke Bawaslu itu semakin sedikit, yang mengaku menerima juga akan semakin sedikit, pasti yang mau mengaku makin sedikit, yakin itu. Karena kena pidana," tuturnya.
Pihaknya pun khawatir pelapor akan semakin berkurang, namun demikian tergantung bagaimana tim Bawaslu provinsi dan kabupaten kota mengawasinya di lapangan saat proses tahapan Pilkada 2024.
Data jumlah penanganan pelanggaran pemilihan 2020 tercatat total 5.334, sebanyak 3.746 temuan dan 1.588 laporan. Tertinggi pelanggaran administrasi 1.532 kasus, pelanggaran etik 292 kasus, tindak pidana pemilihan 182 kasus, pelanggaran hukum lain tren dukungan ASN 1.570 kasus dan bukan pelanggaran 1.828.
Selanjutnya, putusan tindak pidana pemilihan 2020 yang diproses hukum sebanyak 161 perkara masuk ke Pengadilan Negeri. Rinciannya, 155 perkara divonis bersalah, lima bebas dan satu gugur. Ada juga 34 perkara diputus Pengadilan Tinggi, yakni 16 putusan PN dikuatkan PT, 16 perkara mengubah putusan PN, tiga perkara membatalkan putusan PN dan satu perkara tidak diterima. (ant/ree)
Load more