Jakarta, tvOnenews.com - Budi Arie Setiadi didesak ribuan orang agar meletakkan jabatannya sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Budi Arie dinilai tak kompeten dan tidak mampu memimpin dan mengelola kementrian yang menangani Teknologi Informasi dan Digital itu.
Tuntutan mundur ini kian kencang imbas dari kasus pembobolan Pusat Data Nasional (PDN) 2 hingga lumpuh oleh hacker belum lama ini. Kementrian Kominfo dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) tak berdaya menghadapi serangan Ransomware tersebut. Kedua lembaga pemerintah itu bahkan saling melempar tanggung jawab.
Menurut mereka, Kominfo dan Badan Sandi dan Siber Negara (BSSN) harus bertanggung jawab dalam mengamankan sistem atas serangan Ransomware pada PDNS saat ini.
Kasus peretasan dana negara itu membuat Budi Arie semakin menjadi sorotan publik. Tuntutan mundur pun diserukan melalui laman change.org yang digagas oleh SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network). Petisi yang menuntut Menkominfo Budi Arie Setiadi untuk mundur telah mendapatkan dukungan lebih dari 7.000 tanda tangan.
Di samping itu, mereka juga mendesak Kominfo dan BSSN untuk melakukan audit terhadap keamanan semua teknologi dan sumber daya manusia yang terlibat dalam keamanan siber negara.
udi Arie Setiadi, memaparkan kronologi serangan siber yang melanda Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 di Surabaya, di mana gangguan pertama kali terdeteksi pada 17 Juni 2024.
"Jadi identifikasi gangguan yang pertama terjadi gangguan pada PDNS 2 di Surabaya berupa serangan siber dalam bentuk ransomware bernama Brain Cipher Ransomware," kata Budi Arie dalam Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menkominfo dan Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) di DPR RI, Jakarta, Kamis.
"Pascapenemuan ransomware ditemukan upaya penonaktifkan fitur keamanan Windows Defender mulai 17 Juni 2024 pukul sekitar 23.15 WIB yang memungkinkan aktivitas malicious berbahaya beroperasi," sambung dia.
Budi Arie menjelaskan bahwa ransomware adalah jenis perangkat lunak rusak yang mencegah pengguna mengakses sistem baik dengan mengunci layar sistem maupun mengunci file pengguna hingga uang tebusan dibayarkan.
Dia mengatakan dalam serangan terhadap PDNS 2, pihak peretas meminta tebusan 8 juta dolar AS (sekitar Rp131 miliar).
Dia menuturkan bahwa aktivitas berbahaya mulai terjadi pada 20 Juni 2024 pukul 00.54 WIB, di antaranya melalui instalasi file malicious, penghapusan file sistem penting, dan penonaktifan layanan yang berjalan.
Pada pukul 00.55 WIB di hari yang sama, Windows Defender diketahui mengalami crash dan tidak bisa beroperasi.
Adapun hingga 26 Juni 2024, serangan ini telah berdampak pada layanan PDNS 2, mengganggu 239 instansi pengguna. Di antaranya, 30 kementerian/lembaga, 15 provinsi, 148 kabupaten, dan 48 kota terdampak secara langsung.
Namun, terdapat 43 instansi yang tidak terdampak karena data mereka hanya tersimpan sebagai cadangan di PDNS 2. Instansi ini terdiri atas 21 kementerian/lembaga, satu provinsi, 18 kabupaten, dan tiga kota.
"Instansi yang berhasil recovery layanan adalah Kemenkomarves (yaitu) layanan perizinan event, Kemenkumham (yaitu) layanan keimigrasian, LKPP (yaitu) layanan SIKap, Kemenag (yaitu) Sihalal, dan Kota Kediri ini untuk ASN digital," kata Budi Arie.
Dari analisis dampak, Budi Arie mengatakan serangan ini dikategorikan dalam level "critical" dan "major". Pada level critical, dampaknya mencakup gangguan total atau parsial fungsi utama, hilangnya data, dan tidak dapat diaksesnya virtual machine (VM).
Dampak pada layanan dan finansial juga bisa terjadi dengan semua peran terdampak berada di level critical.
Sedangkan pada level major, meskipun terjadi kegagalan pada satu fitur, tidak terdampak pada layanan atau aplikasi, namun terdapat penurunan kinerja pada aplikasi dan dampaknya dirasakan oleh banyak tenant. (ant/ebs)
Load more