KENAPA buku biografi kebanyakan tak menarik saat dibaca? Salah satunya karena penulis mengglorifikasi sang tokoh sedemikian rupa. Sosok ditulis seperti batu pualam yang bersih, steril, tanpa bopeng dan cela. Sang tokoh dipaksa mengenakan baju yang kebesaran, terlampau longgar dengan bentuk tubuh. Alih alih bisa memperlihatkan bentuk tubuh yang proporsional dan serasi, tindakan itu justru mengerdilkan sosok yang ditulisnya.
Buku Vincentius Lianto, “From Garage to The Word, Perjalanan DV Medika Group dari Garasi Menuju Pasar Dunia” terhindar dari jebakan pertamanya: glorifikasi.
Membaca buku setebal 364 halaman yang diterbitkan PT Swasembada Media Bisnis, kita seperti tengah bercakap di sebuah beranda yang teduh, mendengar seorang Vincentius Lianto bercerita seperti seorang sahabat lama.
Dengan lancar, jernih, terbuka dan terkadang “telanjang” Lianto tak hanya menceritakan jatuh bangun DV Medika dari sebuah distributor kecil menjadi produsen dan eksportir alat kesehatan yang berkualitas -—dari pabrik DV Medika di Kendal inilah kebutuhan alat alat kesehatan warga Malaysia sesungguhnya dipasok—- tapi juga bagaimana penempaan etos kerja, pertumbuhan pemikiran dan perjalanan rohani seorang Vincentius Lianto.
(Pemred tvonenews.com, Ecep S Yasa)
Vincent Lianto —demikian saya biasa menyapa— jelas bukan sosok pelanjut atau pewaris bisnis, tapi penjelajah dan penemu. Etos kerja dan kegigihannya dibangun sejak kecil saat dia ditinggal sang ayah ketika umur 9 tahun. Ternyata itulah titik balik dalam sejarah hidup Vincent Lianto.
Sejak ditinggal Janto, sang ayah, kehidupan Eeng (nama panggilan Vincent Lianto ketika kecil) seketika berubah. Ekonomi keluarga surut mendadak seperti aliran irigasi di musim kemarau.
Tak bisa banyak mengeluh, Vincent Lianto melakukan apapun agar ekonomi keluarga tidak mati total. Ia nekat, untuk membantu ekonomi keluarga bahkan harus berjualan kue keliling kampung hingga jadi agen telur ayam kecil kecilan.
Dari usaha yang terakhir, Vincent Lianto mulai sadar, ia sebenarnya punya bakat berusaha. Sepulang sekolah dengan sepeda ia mengantar telur pada sejumlah warung makan di dekat rumah. Agen telur besar (rekan mendiang ayahnya) yang memberi kelonggaran membayar setelah telur terjual, cukup membuat Vincent Lianto bermanuver bisnis. Pendekatan pada pedagang warung makan, kelonggaran membayar telur di antaran berikutnya, dan pelayanan antar membuat pedagang menyukai mengambil telur pada Vincent Lianto.
Alhasil, setiap hari puluhan kilogram telur ia antar ke pedagang langganan. Dari sinilah, ia bisa membiayai sekolah di bangku SMP hingga tamat SMA.
(Cover Buku Vincentius Lianto “From Garage to The Word, Perjalanan DV Medika Group dari Garasi Menuju Pasar Dunia”. Sumber: ist)
Tak disadari, pengalaman inilah yang memberikan fondasi kokoh untuk kiprah Vincent Lianto di kemudian hari. Vincent Lianto jadi tahu, hal yang paling utama, suci, mendasar untuk sukses dalam berbisnis adalah kepercayaan, reputasi dan integritas. Nilai nilai ini yang dipegang sepanjang hidupnya. Dipeluk erat di manapun Lianto berkiprah, termasuk ketika meniti karir “kantoran” di PT Sinar Roda Utama.
Di sini Vincent Lianto terdidik menyelesaikan semua masalah sejak dari pekerjaan administrasi hingga pemasaran jasa perusahaan. Kemudian tim kerja di PT Sinar Roda Utama, dimana Vincent Lianto ada di dalamnya bahkan menjebolkan tender layanan hemodialisa di RSCM hingga lima tahun lamanya. Vincent Lianto lalu dipercaya jadi Wakil Kepala Cabang PT Sinar Roda Utama di Semarang. ia juga meluaskan daya jangkau bisnis perusahaan dengan membuka cabang di sejumlah kota lain di Pulau Jawa.
Petarung tak mau hanya jadi pelanjut. Penjelajah selalu ingin menemukan wilayah baru yang belum terjamah. Vincent Lianto secara tak diduga meninggalkan karirnya yang tengah moncer justru ketika usianya dimata banyak orang disebut tengah di masa keemasan (30 tahunan).
Ia lalu menjual rumahnya di Semarang dan membeli sebuah rumah kecil di Denpasar, Bali untuk memulai bisnis baru yang ia mulai dari nol. Setelah kerusuhan besar melanda kota kota besar di Jawa pada Mei 1998, Vincent Lianto memang sudah kerasan tinggal di Bali. “Bali selalu memberikan rasa aman,” ujarnya. Selain itu, Vincent Lianto sebenarnya tak ingin bersaing dengan para perusahaan besar di Semarang dan punya etika tak ingin mengganggu wilayah bisnis perusahaan yang pernah memberikan penghidupan: Sinar Roda Utama.
Pada 14 Juli 1999 dengan modal patungan berdirilah CV Surya Bali Makmur (SBM) yang bergerak di bidang distribusi alat alat kesehatan. Tempat pamer alat alat kesehatan yang ditawarkan menempati garasi rumah berukuran 4x5 meter. Vincent Lianto sehari hari juga tinggal di lantai dua rumah yang berada di Jalan Ahmad Yani, Denpasar, berhimpitan dengan bagian administrasi dan penjualan.
(Pemred tvonenews.com Ecep S yasa bersama penulis Buku Vincentius Lianto “From Garage to The Word, Perjalanan DV Medika Group dari Garasi Menuju Pasar Dunia”. Sumber: ist)
Ternyata tak mudah memulai bisnis dari dasar. Tahun tahun awal perusahaan berjalan sangat lambat. Vincent Lianto sempat terbersit untuk mundur, hingga sebuah titik krusial berhasil dilampauinya. Saat itu SBM berhasil menjual ventilator alat mesin untuk menunjang pernafasan pasien yang dipasarkan Siemens Healthcare, nama besar produsen alat kesehatan dari Jerman pada sebuah rumah sakit di Bali.
Keberhasilan itu tak hanya mengejutkan banyak pihak, tapi juga menandai awal dari hubungan bisnis dengan raksasa teknologi Siemens. SBM diangkat menjadi dealer resmi Siemens untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ketika era otonomi daerah, ternyata meningkatkan permintaan alat alat kesehatan di sejumlah daerah di Indonesia Timur. Ketajaman insting bisnis Vincent Lianto kembali diuji. Ia menyadari untuk mengangkat bisnisnya ke tingkat yang lebih tinggi, diperlukan sebuah identitas yang lebih kuat.
Lianto lalu mendirikan PT D&V Medika Makmur Gemilang yang lanjutan dan CV Surya Bali Makmur. Kata “DV” artinya “DREAM” (mimpi) dan “VISION” (visi) untuk menggambarkan ambisi sebuah perusahaan yang berawal dari kesederhanaan garasi namun bertekad untuk tumbuh melampaui batas-batas regional dan keinginan mencapai panggung global. “Terasa pendek dan internasional aja,” tutur teman sejawat saya di Kelompok Ahli Badan Narkotoka Nasional (BNN) ini.
Vincent Lianto juga mendesain sebuah ruang pamer yang modern dan futuristik karya desainer interior Singapura di Jalan Sunset Road, Kuta. Tak hanya merangkum fungsi retail, pemasaran, keuangan dan akutansi, interior juga sangat dipikirkan estika sudut dan garisnya.
(Suasana Dusun Bedugul Asri, Bali. Sumber: is)
Usaha Vincent Lianto kian berbiak. Ia menguasai pangsa pasar alat kesehatan tak hanya di Bali, tapi juga wilayah Indonesia Timur. Ratusan klinik, rumah sakit, hingga perusahaan-perusahaan membeli ventilator, mesin anestesi, alat rontgen, CT scan, MRI dan sebagainya dari DV Medika.
Tak lalu, tak ada cobaan. Suatu ketika alat CT Scan yang akan ditempatkan di sebuah rumah sakit di Bali terjatuh dari forklift saat akan dipindahkan. Tak ayal alat canggih itu hancur. Barang seberat 3 ton dengan harga miliaran rupiah terpaksa harus diganti dengan yang baru agar reputasinya tak rusak di dunia medis dan alat alat kesehatan.
Kini, DV Medika terus terbang tinggi. Tak hanya kerja sama dengan perusahaan alat alat kesehatan kenamaan dari mancanegara yang terus berdatangan, tapi juga memiliki sejumlah pabrik yang mengekspor sejumlah perlengkapan kesehatan.
Lianto membangun pabrik di Kendal yang modern pada lahan seluas 10.000 m2 khusus untuk memproduksi hospital bed yang lebih canggih dari biasanya. Ranjang ranjang ini lalu diekspor ke sejumlah negara Asia Tenggara, seperti ke Malaysia.
Demikian, membaca buku ini seperti mendengar seorang petarung bernama Vincent Lianto bercerita di hadapan saya dengan santai seperti seorang sahabat lama. “Saya bersyukur diberi kesempatan kedua oleh Tuhan untuk menikmati hidup,” demikian ia berujar pada satu sore yang sejuk di kawasan Bedugul, Bali. Saat wabah Covid19 sedang ganas-gasannya, ia memang seperti “diberi kehidupan kembali” oleh Tuhan, setelah sekian lama terbaring koma dan tak sadarkan diri.
Saya tahu, di kesempatan kedua dalam hidupnya, kini Vincent Lianto terus keluar dari kepompongnya, bertransformasi menjadi “kupu-kupu” yang tak lelah menebarkan kebaikan demi kebaikan dengan salah satu “mainan barunya” di Bali bernama: Dusun Bedugul Asri. (Ecep Suwardaniyasa Muslimin)
Load more