“Presiden Jokowi menggunakan momen pidato terakhirnya untuk memotret hasil kinerja dan peninggalan (legacy) dalam agenda ke depannya sebagai seorang negarawan. Tapi pidato tersebut justru terlihat seperti formalitas dan/atau singkat-singkat saja,” kata dia.
Justru, lanjut Wayan, Presiden Jokowi terlihat seperti ‘main aman’ dan tidak mampu berkata-kata tentang capaian rencana hebatnya selama ini dalam upaya membangun dan memajukan bangsa, seperti kehidupan demokratis dan penghargaan terhadap HAM dan ruang publik, ketahanan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan, perlindungan terhadap hak warga negara, maupun sistem hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum, dan berkemanfaatan.
Masyarakat sebenarnya mendambakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan berkeadilan sosial sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945. Oleh sebab itu, Pemerintah harus berkomitmen untuk menjamin kehidupan demokrasi dan hukum yang adil dan independen, sehingga dapat melahirkan kepemimpinan yang bekerja untuk rakyat bukan untuk kekuasaan semata.
“Namun, itu belum tercermin dalam pidato Pak Jokowi yang akan menyerahkan tongkat estafet pada presiden selanjutnya, Prabowo Subianto. Agenda berkelanjutan yang diungkapkan terlihat seperti gestur politik untuk meneruskan kekuasaan dalam mengatur kehidupan politik dan demokrasi,” katanya lagi.
Maka dari itu, Wayan mengatakan penting mencatat pernyataan Ketua DPR RI Puan Maharani bahwa ‘satu untuk semua, dan semua untuk satu’ dan kebersamaan dalam kebersandingan untuk membangun bangsa dan negara sesuai prinsip gotong royong dan kekeluargaan.
“Perbedaan pandangan politik maupun pendapat bukan menjadi penghalang untuk membangun bangsa dan negara secara bersama-sama. Persatuan dan kesatuan yang dialamatkan oleh Presiden dalam pidatonya memang diperlukan, namun harus sesuai dengan visi dan tujuan bangsa, yang dilakukan berdasarkan filosofi Pancasila, UUD NRI 1945, dan penerapan prinsip demokrasi dan negara hukum secara seimbang,” pungkasnya. (aag)
Load more