Jakarta, tvOnenews.com - Kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi Universitas Diponegoro Semarang (PPDS Undip), Aulia Risma Lestari, membawa duka mendalam bagi para tetangga.
Ketua RT setempat, Abdul Rozak mengatakan, dirinya mengenal Aulia sebagai perempuan yang sangat baik dan ramah.
"Iya anaknya suka menyapa," kata Abdul kepada wartawan, Minggu (18/8).
Abdul juga menilai Aulia merupakan perempuan yang memiliki jiwa sosial tinggi. Aulia juga diketahui kerap memberikan santunan kepada anak yatim piatu.
Kepada para tetangga, Aulia juga sering memberikan informasi seputar obat-obatan.
"Sangat kehilangan kepergian dokter Aulia, kalau pagi dia suka jalan setiap hari minggu," ujar Abdul.
"Kalau kita lupa soal obat, kita tanya ke dokter (Aulia) 'obat apa ini?'," tambah Abdul.
Aulia diduga mengakhiri hidupnya, karena mengalami tekanan dari seniornya di kampus.
Meski demikian, hal itu belum bisa dikonfirmasi secara pasti oleh pihak kepolisian.
Berdasarkan pemeriksaan buku harian korban, polisi menemukan bahwa Aulia memang mengalami banyak tekanan.
Dalam buku hariannya, terlihat banyak keluh kesah Aulia selama menjalani kehidupan sebagai mahasiswi dokter anestesi.
"Di sembilan halaman itu tidak ada terkait perundungan. Hanya mengeluh kepada Tuhan." kata Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Irwan Anwar beberapa waktu lalu.
Sementara itu, diketahui sebenarnya Aulia ingin mengundurkan diri dari pekerjaannya tersebut.
Meski demikian, status mahasiswi PPDS di Undip didapatkannya dengan beasiswa sehingga tidak bisa dengan mudah mengundurkan diri.
Aulia juga pernah beberapa kali mengeluh kepada sang ibu bahwa mengalami banyak tekanan dan ingin berhenti.
Sementara, Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Marzoeki Mahdi, Nova Riyanti Yusuf menjelaskan bahwa metode bunuh diri yang dilakukan korban melibatkan penggunaan obat-obatan anestesi, terutama Propofol, serta alat medis tertentu yang digunakan untuk tindakan tersebut.
Menurut Nova, sangat penting mencegah ide bunuh diri agar tidak berkembang menjadi tindakan nyata.
Nova juga menekankan bahwa pelajaran penting bagi dokter spesialis anestesi adalah pemahaman mendalam mengenai penggunaan obat-obatan anestesi.
Kesalahan dalam hal tersebut dapat berujung pada situasi yang berbahaya. Di sisi lain, Nova mengakui bahwa profesi dokter spesialis anestesi kerap menghadapi tekanan dan stres yang signifikan.
Buku harian milik korban juga dianggap penting untuk proses triangulasi dalam autopsi psikologis.
Dalam pernyataan resminya, Undip menegaskan bahwa tidak ada tindakan perundungan yang dialami korban selama menjalani pendidikan.
Meski demikian, Nova menyoroti bahwa perlu ada batasan yang jelas soal proses pendidikan dokter dan sesuatu yang bersifat perundungan.
“Saya sudah melalui program pendidikan dokter umum hingga spesialis, dan kita perlu memperjelas batasan antara proses pendidikan dan tindakan yang masuk kategori perundungan. Batasan ini sering kali kabur,” ujar Nova Riyanti, dikutip Sabtu (17/8).
Batasan yang kabur itu, lanjut Nova, kerap kali membuat proses perundungan dilanggengkan, sementara pelakunya tidak merasa melakukan bullying.
Menurutnya, akan sangat berbahaya jika aksi yang sebenarnya termasuk perundungan dinilai oleh senior atau pihak kampus sebagai bentuk dari pembentukan karakter.
"Ini yang saya rasa paling bahaya, pada saat kita menggunakan dalih seperti oh ini character building (pembentukan karakter), kalau kamu tidak mampu melakukan ini berarti you don't fit to become a specialist (tidak cocok menjadi spesialis)," ujar Nova.
Investigasi Internal Pihak Undip
Pihak Undip pun sudah melakukan investigasi internal yang hasilnya menyatakan bahwa bukan perundungan yang jadi penyebab korban diduga bunuh diri.
Rektor Undip Suharnomo mengatakan, pihaknya pun tetap menyerahkan segala keputusan kepada pihak berwenang.
"Dari internal kita memang tidak ada (bullying), tapi kita menyerahkan dong sama kepolisian untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut," ujarnya saat ditemui di kantornya, Tembalang, Semarang, Senin (19/8).
Kata dia, investigasi internal itu dilakukan dengan cara memeriksa sejumlah pihak, berbagai catatan akademik, dan CCTV.
"Ya kita tanya kan Kaprodinya kemudian KSM-nya kemudian dengan Dekan dengan KPS yang ada di sana, dia sampaikan tidak ada yang seperti itu. Jadi kita sudah sampaikan ke Irjen juga, Kemenkes dan Dikti riwayat beliau yang memang dari semester awal sudah banyak sakit yah dan banyak absensi, kemudian dari KPS juga sudah sangat bagus menggantikan yang bersangkutan kalau lagi sakit dan lain sebagainya," ujarnya. (ppt/dpi)
Load more