Jakarta, tvOnenews.com – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) kembali menunjukkan taringnya dalam menjaga demokrasi Indonesia melalui aksi "Jihad Konstitusi Jilid II" yang berlangsung di depan Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa, tetapi sebuah langkah tegas untuk mendesak KPU agar segera menegakkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) secara penuh, tanpa kompromi atau tekanan politik, terutama terkait syarat pencalonan kepala daerah dalam Pilkada Serentak 2024.
Dikawal oleh Abdul Hakim El, Ketua Bidang PTKP PB HMI, ribuan mahasiswa memadati kawasan Menteng, Jakarta Pusat, menyuarakan tuntutan agar KPU menjalankan fungsinya sebagai penjaga konstitusi. Mereka datang bukan untuk kompromi, tetapi untuk memastikan bahwa demokrasi tidak disandera oleh kepentingan politik segelintir elit.
Aksi ini tidak muncul begitu saja. Di baliknya, terdapat kekhawatiran mendalam akan pembangkangan terang-terangan terhadap putusan MK, yang seharusnya menjadi pijakan utama dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Sejak berdirinya, MK telah mengeluarkan putusan-putusan yang bersifat final dan mengikat. Namun, putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024, yang seharusnya memperkuat demokrasi elektoral, malah diabaikan begitu saja oleh DPR RI dan pemerintah.
Langkah kontroversial DPR RI yang secara tergesa-gesa merevisi UU Pilkada pada 21 Agustus 2024, dianggap HMI sebagai bentuk nyata dari "pembangkangan konstitusional." Revisi ini bukan sekadar kelalaian, tetapi langkah sistematis untuk melemahkan demokrasi dan memperkuat cengkeraman kekuasaan keluarga Jokowi di arena politik, terutama di wilayah-wilayah strategis seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
HMI melihat revisi UU Pilkada ini sebagai bagian dari rencana besar keluarga Jokowi untuk membangun dinasti politik. Dengan menempatkan keluarga dan kroninya di posisi-posisi strategis, Jokowi tampaknya ingin memastikan bahwa kendali politik tetap berada di tangan keluarganya, bahkan setelah ia lengser dari kursi presiden. Ambisi ini jelas merupakan ancaman serius bagi demokrasi, di mana proses politik dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan keluarga, bukan untuk melayani rakyat.
Bagi HMI, ini bukan sekadar pelanggaran terhadap aturan hukum, tetapi penghinaan terhadap konstitusi dan demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah. Dinasti politik ini, jika dibiarkan, akan menjadikan demokrasi Indonesia sebagai alat permainan segelintir elit, di mana hukum hanya menjadi formalitas dan keputusan MK sekadar "macan kertas" yang tidak berarti.
Dalam rilis pers mereka, HMI tidak hanya mengkritik KPU, tetapi juga menyerang DPR RI dan pemerintah yang dinilai "ugal-ugalan" dalam merevisi UU Pilkada tanpa mempertimbangkan putusan MK. HMI menilai tindakan ini sebagai bentuk pembangkangan konstitusional yang memalukan, yang jika dibiarkan, akan merusak tatanan hukum dan demokrasi di Indonesia.
Load more