Selain itu, mantan penasihat hukum Kemen LH ini menyatakan dalam perkara ini penyidik dalam perkara A Quo adalah orang yang sama dengan JPU dan ini sangat bertentangan dengan KUHAP dan asas diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan Pidana di Indonesia, sehingga dakwaan yang dihasilkan dari proses penyidikan dan penuntutan juga bias dianggap melanggar hukum.
“Tim Penuntut Umum di persidangan maupun secara berkas perkara telah sangat jelas dan terang-terangan menunjukkan di hadapan persidangan bahwa penyidik dalam perkara a quo adalah orang yang sama yang merangkap sekaligus juga sebagai Penuntut Umum,” paparnya.
Padahal, implementasi asas diferensiasi fungsional di KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi penyidikan yang dijalankan oleh penyidik Polri atau PPNS dan fungsi penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 6 KUHAP;
“Pasal 1 angka 1 KUHAP menyatakan: Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan.
Pasal 1 angka 6 KUHAP menyatakan: Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 6 KUHAP di atas maka telah jelas bahwa jaksa tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik, karena KUHAP menghendaki pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan dengan fungsi penuntutan.(lkf)
Load more