Jakarta, tvOnenews.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi membuka kembali peluang ekspor pasir laut usai menandatangani Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut pada Mei 2023.
Setahun berselang, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan merilis aturan pelaksana, yakni Permendag No. 20 Tahun 2024 dan Permendag No. 21 Tahun 2024, yang menjadi tonggak dimulainya kembali ekspor pasir laut.
Selama 20 tahun sebelumnya, sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri, ekspor pasir laut dilarang pemerintah akibat polemik yang memanas saat itu.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Isy Karim, menegaskan bahwa ekspor pasir laut hanya diperbolehkan jika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi.
"Ekspor sedimentasi laut, termasuk pasir laut, diizinkan asalkan kebutuhan domestik telah mencukupi dan sesuai dengan regulasi yang berlaku," jelas Isy dalam pernyataannya, Minggu (15/9/2024).
Isy juga menambahkan, pengerukan pasir laut untuk ekspor diperlukan untuk mengatasi sedimentasi yang berpotensi mengganggu ekosistem pesisir dan laut, serta menjaga kesehatan laut.
- Pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan
Sementara itu Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menuturkan selama ini kebutuhan reklamasi dalam negeri besar, namun sayangnya pemanfaatan pasir laut masih merusak lingkungan karena pasir yang diambil berasal dari pulau-pulau.
"Jadi reklamasi dan berakibat pada kerusakan lingkungan. Atas dasar itu terbitlah PP (PP Nomor 26 Tahun 2023), boleh untuk reklamasi, tapi harus gunakan pasir sedimentasi,” ujarnya.
Pasir sedimentasi dinilai cocok dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi, termasuk mendukung pembangunan IKN dan infrastruktur dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
“Ini kita tetapkan peraturan pemerintahnya tujuannya untuk memenuhi reklamasi di dalam negeri, bahwasannya ada sisa untuk dibawa ke luar negeri, silahkan saja kalau tim kajian mengatakan sedimentasi ini boleh (ekspor pasir laut) ya silakan,” jelasnya.
- Komentar Luhut
Hal yang sama juga diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Ia meyakini kebijakan yang memperbolehkan pengerukan dan mengekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan.
"Nggak dong (tidak merusak lingkungan). Karena semua sekarang ada GPS (global positioning system) segala macam, kita pastikan tidak (merusak lingkungan) pekerjaannya," katanya ditemui usai acara peluncuran Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) pada 31 Mei 2023.
"Sekarang kalau diekspor, pasti jauh manfaatnya, untuk BUMN, pemerintah," ujarnya.
Luhut juga menyebut ekspor pasir laut punya manfaat untuk mendukung kegiatan ekonomi dan industri, khususnya terkait pendalaman alur laut.
Pengerukan disebutnya justru bermanfaat bagi ekosistem laut karena bisa mengurangi pendangkalan.
"Jadi, untuk kesehatan laut juga. Sekarang proyek yang satu besar ini Rempang (Batam). Rempang itu yang mau direklamasi supaya bisa digunakan untuk industri besar solar panel. Gede sekali solar panel itu," katanya.
Luhut juga menepis kabar dibukanya ekspor pasir laut akan memuluskan investor asal Singapura berinvestasi ke Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Enggak ada urusannya ke situ, baca itu peraturan pemerintahnya baik-baik," katanya.
Luhut juga menjelaskan bahwa pengerukan pasir laut dilakukan untuk pendalaman alur laut sehingga tidak terjadi sedimentasi.
Seperti diketahui sebelumnya, telah keluarnya dua Permendag yang diteken Zulkifli Hasan tersebut, ekspor pasir laut adalah aktivitas ilegal selama kurun waktu 20 tahun.
Pelarangan ekspor pasir laut dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2002 atau di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Penghentian ekspor pasir oleh pemerintah dilakukan karena jadi polemik panas kala itu.
Kala itu, banyak pihak yang kontra dengan ekspor pasir laut karena hanya menguntungkan Singapura. Sementara Indonesia tidak banyak diuntungkan karena harga pasir yang dinilai terlalu rendah.
Belum lagi dampak kerusakan lingkungan, di mana banyak pulau-pulau kecil di Kepualauan Riau (Kepri) hilang kerena terkena abrasi setelah pasirnya dikeruk untuk dikirim ke Singapura.
Kemudian, berdasarkan data yang dihimpun, Sejak 1976 hingga 2002, pasir dari perairan Kepri dikeruk untuk mereklamasi Singapura. Volume ekspor pasir ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun.
Saat itu, banyak pengusaha tongkang merekayasa data volume ekspor pasir laut. Tujuannya agar bisa mengekspor atau menjual sebanyak mungkin pasir laut berapa pun harganya, tanpa memperhatikan dampak bagi lingkungan.
Bahkan, pasir dari Kepri dijual dengan harga 1,3 dollar Singapura per meter kubik.
Padahal seharusnya harga dapat ditingkatkan pada posisi tawar sekitar 4 dollar Singapura. Dengan selisih harga itu, Indonesia rugi sekitar 540 juta dollar Singapura atau Rp 2,7 triliun per tahun.
Pengerukan pasir secara besar-besaran untuk diekspor ke Singapura juga hampir membuat Pulau Nipa di Batam tenggelam karena abrasi. Padahal, pulau itu menjadi salah satu tolok ukur perbatasan Indonesia dengan Singapura karena berada di garis depan perbatasan.
Karena terus menuai kontroversi, Presiden Megawati Soekarnoputri kemudian resmi melarang ekspor pasir laut ke luar negeri.
Megawati memerintahkan para menterinya untuk segera menghentikan ekspor pasir laut. Surat Keputusan Bersama (SKB) kemudian diteken 3 menteri saat itu.
Ketiga menteri tersebut menerbitkan SKB.07/MEN/2/2002 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
SKB ditandatangani pada 14 Februari 2002 oleh tiga orang menteri, yakni Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno, Menteri Kelautan dan Perikanan Rohkmin Dahuri, dan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim. (aag)
Load more