Jakarta, tvOnenews.com - Peningkatan utang negara selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap belum memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky, mengkritisi pernyataan pemerintah yang menyebut utang digunakan untuk keperluan produktif.
Menurut Awalil, data menunjukkan rasio utang dengan pertumbuhan ekonomi justru tidak seimbang.
"Pendapatan negara tidak meningkat secara signifikan seiring dengan bertambahnya utang," ujar Awalil dalam diskusi daring bertema "Warisan Utang Jokowi dan Prospek Pemerintahan Prabowo," pada Selasa (17/9/2024).
Ia memaparkan bahwa rasio utang pemerintah terhadap pendapatan negara pada 2024 mencapai 315,81 persen, hampir dua kali lipat dari rasio 168,27 persen saat Jokowi pertama kali menjabat pada 2014.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada 2014 sebesar 5,01 persen hanya meningkat tipis menjadi 5,1 persen di kuartal pertama 2024.
Selain itu, Awalil menyoroti bahwa utang negara tidak diimbangi dengan peningkatan aset tetap pemerintah.
Pada 2023, utang pemerintah pusat tercatat sekitar Rp8.144 triliun, sementara nilai aset tetap hanya sekitar Rp7.000 triliun.
"Artinya, utang tersebut tidak banyak dialokasikan untuk aset produktif seperti infrastruktur. Sebagai contoh, penambahan jalan tol lebih besar dibandingkan jalan nasional, berbeda dengan era SBY," jelasnya.
Kementerian Keuangan mencatat pada Juli 2024, utang pemerintah mencapai rekor tertinggi sebesar Rp8.502,69 triliun.
Meskipun pemerintah menganggap rasio utang masih aman karena di bawah 40 persen terhadap PDB, pernyataan ini juga mendapat kritik dari ekonom senior INDEF, Didik J Rachbini.
Ia memperingatkan bahwa pemerintah berikutnya akan menanggung beban berat hanya untuk membayar bunga utang tahunan.
"Di Jepang, meski rasio utangnya 100 persen, bunga yang dibayar hanya 0,7-0,9 persen. Untuk utang 500 triliun, mereka hanya bayar 30 triliun. Sementara kita punya utang 8.500 triliun, harus bayar bunga 500 triliun," ungkap Didik.
Dengan angka-angka tersebut, semakin jelas bahwa beban utang negara ini memerlukan perhatian serius untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang. (aag)
Load more