Jakarta, tvOnenews.com - Pemerintah Indonesia tengah merancang langkah ambisius untuk mengekspor sedimentasi yang diduga merupakan pasir laut.
Pengambilan sedimen akan dilakukan di tujuh lokasi, yaitu: Kabupaten Demak, Kota Surabaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Kutai Kartanegara, serta Kota Balikpapan.
Tak hanya itu, pulau-pulau di Provinsi Kepulauan Riau, seperti Karimun, Lingga, dan Bintan, juga masuk dalam daftar.
Namun, rencana ini menuai kritik. Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menilai bahwa langkah pemerintah ini kurang didukung kajian ilmiah yang kuat.
Menurutnya, alasan bahwa pengambilan sedimen dilakukan di perairan yang mengganggu jalur kapal dan aktivitas nelayan tidak berdasar, karena lokasi pengerukan tersebut berada di laut dalam.
Romi Hermawan, seorang ahli ekologi dari sekolah tinggi perikanan dan kelautan, menambahkan bahwa bisnis komoditas pasir laut memiliki potensi keuntungan yang besar.
Ia memprediksi bahwa Singapura akan menjadi pihak yang paling diuntungkan, mengingat negara tersebut terus berupaya memperluas wilayahnya.
Selama dua dekade, Indonesia pernah menjadi pemasok pasir laut terbesar untuk Singapura. Namun, pada tahun 2003, di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, ekspor pasir laut dihentikan.
Keputusan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003, yang dikeluarkan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Akibatnya, Singapura mengalami krisis pasokan pasir.
Setelah 20 tahun, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 yang mengatur pengelolaan hasil sedimentasi laut.
Aturan ini mencakup proses pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan hasil sedimentasi, termasuk ekspor pasir laut.
Sebagaimana dilansir dari sg101.gov.sg, setiap tahun, Singapura terus memperluas wilayahnya melalui reklamasi lahan.
Sejak 1960, luas daratan negara ini bertambah dari 581,5 kilometer persegi menjadi 725,7 kilometer persegi pada 2019, dengan target mencapai 766 km² pada tahun 2030.
Reklamasi lahan telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Singapura, dengan infrastruktur kunci seperti Bandara Changi dan Pelabuhan Tuas dibangun di atas lahan reklamasi laut. Pasir menjadi elemen krusial dalam proses ini.
Awalnya, Singapura mendapatkan pasir dari sumber lokal. Namun, ketika sumber daya tersebut mulai menipis, negara itu beralih ke impor.
Laporan dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2019 menyebutkan bahwa Singapura telah menjadi importir pasir terbesar di dunia selama 20 tahun terakhir, dengan sekitar 517 juta ton pasir diimpor dari negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.
Dikutip dari Reuters, sejak menghentikan ekspor pasir laut pada tahun 2003 dan menegaskannya kembali pada 2007, Indonesia menciptakan krisis pasokan bagi Singapura, yang mengandalkan 90 persen pasokan pasirnya dari Indonesia. Rata-rata pengiriman mencapai lebih dari 53 juta ton per tahun antara 1997 hingga 2002. (aag)
Load more