Jakarta, tvOnenews.com - Pelarangan promosi susu formula (sufor) yang termaktub pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 28 tahun 2024 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dinilai perlu dikaji kembali.
Sebab, pelarangan tersebut seolah menyamakan antara sufor dan rokok yang juga dibatasi kegiatan promosinya seperti iklan.
Hal itu disampaikan Guru besar ilmu gizi dan kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Tria Astika Endah P, MKM dalam keterangannya, Rabu (2/10/2024).
Dia menilai pelarangan tersebut yang seolah Sufor berdampak buruk pada bayi salah besar.
Sufor dalam hal ini lebih jelas memiliki dampak positif dan kontribusi kepada masa pertumbuhan bayi.
“Kalau berbahaya mana antara rokok dengan susu formula, dua-duanya memberikan dampak berbeda ya,” kata Prof. Tria.
Prof Tria mengatakan sufor dalam kondisi tertentu dapat menggantikan Air Susu Ibu (ASI).
Misalnya munculnya kontraindikasi menyusui yang mengakibatkan bayi tidak dapat memperoleh ASI karena ibunya menjalani kemoterapi.
“Susu formula ini memberikan kontribusi terhadap hak hidup bayi pada saat kondisi memang ibunya tidak bisa memberikan ASI,” terang Prof. Tria.
Selain itu, Prof Tria menilai satu hal lainnya yang perlu dikaji kembali dari PP 28 tahun 2024 itu adalah soal kental manis.
Dia melihat dalam PP tersebut tidak mengatur kental manis.
Padahal, kental manis yang masih kerap dipersepsikan sebagai susu dampak buruk kesehatannya besar dibanding sufor.
“Kita berbaik sangka kepada pemerintah. Berbaik sangka yang tujuannya apakah memang kental manis sudah memang tidak dikategorikan susu? karena patokannya mungkin sudah tidak dianggap susu,” tutur Prof Tria.
Sementara, Guru Besar UMJ Prof. Ibnu Sina Chandranegara menambahkan pelarangan promosi sufor di PP 28 tahun 2024 lompat dari esensinya dalam memenuhi hak bayi dalam mendapat ASI.
Dia memaparkan pelarangan tersebut tidak menjawab persoalan pemenuhan ASI kepada bayi.
“Harusnya pemenuhan pemerintah agar bayi memperoleh haknya terhadap ASI, bukan mengatur produsen dan distributor. Ini kan dua sektor yang berbeda, ini kan larangan dagang sebetulnya,” imbuh Prof Ibnu.
Menurutnya, pelarangan promosi tersebut dapat membuat interpretasi bahwa sufor sama dengan rokok.
Sebab, esensi dari pelarangan karena sebuah produk tersebut berbahaya.
“Kalau memang pada faktanya susu formula itu adalah bahaya, maka (silakan) dilarang. Karena konsepnya dilarang karena bahaya. Jadi (aturan itu) akan meletakkan susu formula sama seperti rokok,” tutur Prof Ibnu.
Oleh karena itu, dia menilai langkah yang seharusnya pemerintah ambil adalah melakukan berbagai tindakan guna memastikan pemberian ASI kepada bayi, bukan menerbitkan peraturan yang tidak komprehensif dalam menyelesaikan masalah.
“Seharusnya regulasinya itu tadi, pemerintah memberikan kewajiban sampai tingkat dinas untuk memberikan jaminan nutrisi ibu yang melahirkan. Dari ekonomi menengah ke bawah,” pungkasnya.(lkf)
Load more