Setidaknya ada delapan kekeliruan yang dia catat, salah satunya terkait dengan moral.
Romli menegaskan sejak awal kasus Mardani H Maming ini seharusnya tidak diproses, karena fakta-fakta hukum yang kabur dan tidak jelas untuk dibuktikan.
Dia menambahkan ada banyak siasat dari penegak hukum untuk terus melanjutkan proses kasus ini, termasuk dengan penggunaan pasal-pasal yang tak sepenuhnya sesuai konteksnya.
Romli juga menilai, karena susahnya pembuktian, maka penyidik menggunakan Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi supaya gampang, patut diduga.
"Justru seharusnya kasus ini dihentikan penyidikannya dengan mengeluarkan SP3. Namun nyatanya KPK tidak melakukan hal itu dan justru dipaksakan. Kalau yang bener begitu lihat memang susah, hentikan, SP3, ini kan enggak, karena KPK alasannya enggak boleh SP3, ya harusnya dilimpahkan ke Kejaksaan kalau mau seperti itu, kan tidak dilakukan. Lanjut aja dipaksakan," terang Romli.
Menurut Romli, baik polisi, jaksa maupun hakim sama-sama keliru dalam menangani perkara Mardani H Maming ini.
"Kalau saya berpikir ya mau jaksanya nggak bener, polisi nggak bener, kalau hakimnya tegak lurus ke atas nggak ada masalah tapi ini jaksanya sudah enggak betul secara hukum, hakimnya juga enggak mau tegak lurus," ujarnya.
Romli menegaskan bukan tidak mungkin kasus ini kental dengan nuansa politik, sehingga memang seolah-olah dibuat hukum itu memang berlaku dan ada.
Hal serupa disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso bahwa eksaminasi yang dilakukan para ahli hukum itu sesuatu yang penting untuk dilakukan. Apalagi putusan hakim tidak terlepas dari kemungkinan kekeliruan.
Load more