Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan konstruksi perkara yang menjerat Isnu Edhi Wijaya (ISE) dan Husni Fahmi (HSF), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik.
Isnu merupakan mantan Dirut Perum Percetakan Negara RI (PNRI). Sedangkan Husni adalah mantan Staf Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)/Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP-el.
KPK pada Kamis ini menahan keduanya, setelah diumumkan sebagai tersangka pada Agustus 2019 bersama dengan Anggota DPR RI 2014-2019 Miryam S Haryani (MSH) dan Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Paulus Tannos (PLS).
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (3/2/2022), mengatakan pada Februari 2011 pengusaha Andi Agustinus bersama dengan Isnu menemui mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto, dengan maksud agar salah satu dari konsorsium tersebut dapat memenangkan proyek KTP elektronik.
Atas permintaan tersebut, Irman menyetujui dan meminta komitmen pemberian uang kepada anggota DPR RI. Kemudian tersangka Isnu, tersangka Paulus, dan perwakilan vendor-vendor lainnya membentuk konsorsium PNRI.
"Sebelum konsorsium dibentuk, Anang Sugiana pemilik PT Quadra Solution menemui ISE di Kantor PNRI untuk menyampaikan keinginannya mengikuti pelaksanaan proyek KTP-el," ujar Lili.
Pada pertemuan tersebut, kata dia, Anang Sugiana menyampaikan PT Quadra Solution bersedia untuk bergabung di konsorsium PNRI.
"Kemudian Andi Agustinus, PLS, dan ISE menyampaikan apabila ingin bergabung dengan konsorsium PNRI, maka ada komitmen 'fee' untuk pihak lain sebesar 10 persen, yaitu dengan rincian 5 persen untuk DPR RI dan 5 persen untuk pihak Kemendagri yang kemudian disanggupi oleh Anang Sugiana," katanya lagi.
Isnu juga sempat menemui Husni untuk konsultasi masalah teknologi, dikarenakan BPPT sebelumnya melakukan uji petik KTP elektronik pada 2009.
"Pada saat itu, ISE bertindak sebagai Ketua Konsorsium PNRI. Pemimpin konsorsium disepakati berasal dari BUMN, yaitu PNRI agar mudah diatur karena dipersiapkan sebagai konsorsium yang akan memenangkan lelang pekerjaan penerapan KTP-el," ujar Lili.
Isnu juga diduga melakukan pertemuan dengan Andi Agustinus, Johannes Marliem, dan tersangka Paulus membahas pemenangan konsorsium PNRI dan menyepakati "fee" 5 persen, sekaligus skema pembagian beban "fee" yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.
"Berdasarkan kesepakatan hasil pertemuan tersebut, Perum PNRI bertanggung jawab memberikan 'fee' kepada Irman dan stafnya sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh," ungkap Lili.
Ia mengatakan Isnu bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan dengan nilai kurang lebih Rp5,8 triliun.
"Pada 30 Juni 2011, Sugiharto menunjuk konsorsium PNRI selaku pelaksana pekerjaan penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional (KTP-elektronik) tahun anggaran 2011-2012," katanya lagi.
Untuk melaksanakan kontrak tersebut, ujar Lili, Isnu membentuk manajemen bersama dan membagi pekerjaan kepada anggota konsorsium. Isnu juga mengusulkan adanya ketentuan setiap pembayaran dari Kemendagri untuk pekerjaan yang dilakukan oleh anggota konsorsium akan dipotong 2 sampai 3 persen dari jumlah pembayaran untuk kepentingan manajemen bersama.
"Padahal di dalam rincian penawaran senilai Rp5,8 triliun tidak ada komponen tersebut, dan seharusnya semua pembayaran digunakan untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan," kata dia pula.
Dia mengatakan hasil pemotongan tersebut kemudian digunakan untuk membiayai hal-hal di luar penawaran, dan juga digunakan untuk operasional manajemen bersama konsorsium PNRI.
"Pemotongan sebesar 3 persen tersebut pada akhirnya mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan prestasi Perum PNRI itu sendiri," kata dia.
Sedangkan untuk tersangka Husni, KPK menduga yang bersangkutan telah melakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor. Padahal Husni dalam hal ini adalah ketua tim teknis dan juga panitia lelang. Tersangka Husni juga hadir beberapa kali di pertemuan tersebut pada Juli 2010 yang membahas tentang uji petik, biometric, teknologi, dan teknis KTP elektronik.
"Dalam pertemuan tersebut, HSF diduga ikut mengubah spesifikasi, rencana anggaran biaya, dan seterusnya dengan tujuan mark up. Setelah itu, HSF sering melapor kepada Sugiharto," kata Lili.
KPK juga menduga Husni tetap meluluskan tiga konsorsium yang dalam "proof of concept" tidak memenuhi syarat wajib, yakni mengintegrasikan "hardware security modul" (HSM) dan "key management system" (KMS).
KPK menduga kerugian keuangan negara terkait kasus KTP-el sekitar Rp2,3 triliun.(chm/ant)
Load more