Jakarta, tvOnenews.com - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menyoroti ironi di balik kasus suap yang menimpa hakim-hakim di Indonesia.
Ia mencatat bahwa tak satu pun pejabat berani mundur atau dipecat meski banyak hakim terjerat kasus korupsi.
Baru-baru ini, tiga hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya ditangkap oleh Kejaksaan Agung karena menerima suap terkait vonis bebas Ronald Tannur, putra anggota DPR yang menganiaya pacarnya hingga tewas.
"Jika ada hakim yang terlibat dalam praktik suap, selain harus dikenakan sanksi pidana, ketua pengadilan juga wajib dicopot. Ini merupakan bentuk tanggung jawab atas kegagalan dalam pembinaan dan pengawasan," tegas Zaenur seperti yang dikutip dari Kompas.com pada Jumat (25/10/2024).
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa langkah tegas ini harus diterapkan di semua tingkatan. "Jika kasusnya melibatkan pengadilan negeri, ketua pengadilan negeri harus mundur. Begitu juga untuk hakim pengadilan tinggi; ketua pengadilan tinggi yang bersangkutan juga harus dipecat," tambahnya.
Tak terkecuali, jika seorang hakim agung terlibat dalam suap, Ketua Mahkamah Agung (MA) dan ketua kamar harus bertanggung jawab dan mengundurkan diri.
"Ini semua adalah bentuk pertanggungjawaban pimpinan," imbuhnya.
Zaenur juga menyoroti ketidakberdayaan MA dalam menangani kasus korupsi.
"Selama ini, meski ada dua hakim agung, Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati, yang diduga terlibat korupsi, tak ada tindakan dari Ketua MA. Tak ada pengunduran diri atau langkah konkrit lainnya," ungkapnya.
Ia menekankan bahwa maraknya kasus suap di kalangan hakim menunjukkan minimnya reformasi dalam sistem peradilan Indonesia, menciptakan budaya korupsi yang masih mengakar.
"Pengawasan dan pembinaan di Mahkamah Agung dan lembaga peradilan lainnya masih sangat lemah. Korupsi telah menjadi bagian dari budaya peradilan sejak dahulu dan terus berlanjut hingga saat ini," tutup Zaenur. (aag)
Load more