Jakarta, tvOnenews.com — Komisioner Komisi Yudisial Mukti Fajar mengatakan bahwa serangkaian penangkapan hakim dan aparat peradilan terkait kasasi Ronald Tannur mengindikasikan adanya mafia peradilan.
“Karena itu melibatkan aktor yang di dalam atau di luar pengadilan yang dapat mengatur vonis,” katanya kepada wartawan, Senin, 28/10/2024.
Menurut Mukti semestinya aparat pengadilan seperti hakim atau jaksa bisa membentengi diri dari praktik tidak benar semacam itu. “Caranya sadar menjaga integritas setiap saat,” ujarnya. “Patuhi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan. Selain itu, hakim juga diwajibkan untuk tidak berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dengan pihak pihak yang berperkara.”
Lebih lanjut, Mukti mengatakan bahwa praktik mafia peradilan itu terjadi dengan cara memanfaatkan celah hukum dan koneksi dengan aktor di dalam pengadilan. “Kemudian itu digunakan dalam setiap proses pengadilan,” katanya.
Sebelumnya, pada Juli lalu, tiga orang hakim dari Pengadilan Negeri Lubuk Linggau dilaporkan ke Komisi Yudisial karena dianggap tidak mengindahkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956, bahwa kasus perkara pidana tidak dapat diputus sebelum kasus perdatanya diselesaikan.
Kini, PN Lubuk Linggau kembali mendapat sorotan karena dalam sidang eksepsi terhadap terdakwa atas nama Bagio Wilujeng dan Djoko Purnomo dianggap tidak mengindahkan kaidah yang terdapat pada pasal 84 ayat 1 KUHAP.
“Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada surat pelimpahan perkara hanya menyebutkan Serayu dan Palembang yang menjadi ‘locus delicti’. Sementara itu, jika ditinjau dari pasal 84 ayat 2, keberadaan saksi dan terdakwa tidak dapat berdiri sendiri untuk menjadi kewenangan pengadilan,” kata Satria Nararya, pengacara Bagio dan Djoko.
Load more