Jakarta, tvOnenews.com - RUU penyadapan kini kian ramai diperbincangkan publik hingga kalangan akademisi, dan peneliti.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyadapan harus sinkron dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai rujukan utama dalam mengatur upaya paksa.
“Kami melihat (RUU) Penyadapan ini harus disinkronkan dulu dengan KUHAP sebagai backbone atau rujukan utama dalam mengatur upaya paksa,” kata Tita, sapaan akrab Iftitah, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024).
Apalagi, ketika hasil penyadapan digunakan dalam persidangan atau sebagai bukti untuk penjatuhan pidana.
Tita menilai perlu diatur lebih lanjut mengenai standar untuk melakukan penyadapan, seperti siapa yang melakukan pengawasan, kapan penyadapan boleh dipakai, dan dalam tindak pidana apa saja penyadapan dapat dilakukan.
Selain itu, Tita juga merasa penting untuk diatur tentang bagaimana kontrol penyadapan dan mekanisme untuk pengecualiannya apabila melanggar ketentuan dan sebagainya.
Menurut Tita, pengaturan soal penyadapan harus satu paket dengan upaya paksa yang lain, seperti penyitaan, penggeledahan, penyitaan bukti elektronik, hingga penggeledahan bukti elektronik.
“Yang itu, dalam KUHAP belum sama sekali diatur. Ini sangat berhubungan dengan bagaimana penyadapan itu juga diatur dalam konteks untuk penegakan hukum,” ucap dia.
Tita menyarankan agar RUU Penyadapan dibahas setelah memiliki konsep yang pasti mengenai upaya paksa dan bagaimana mekanisme kontrol (check and balance) terhadap upaya-upaya hukum, termasuk penyadapan.
Ia mengingatkan bahwa RUU Penyadapan merupakan amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010. “Waktu itu, MK menyatakan perlu ada undang-undang khusus yang mengatur manfaat penyadapan,” kata Tita. (ant/aag)
Load more