Jakarta, tvOnenews.com - Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Karim Suryadi mempertanyakan netralitas dewan etik PERSEPI (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia). Apalagi netralitas tersebut diuji dengan keluarnya tiga lembaga survei terkemuka di Indonesia dari PERSEPI.
Ketiga lembaga tersebut adalah Poltracking Indonesia, Parameter Politik Indonesia (PPI) dan Voxpol Center Research and Consulting.
“Yang menjadi pertanyaan saya bagaimana tingkat independensi dan obyektifitas dewan etik. Apakah dewan etik keanggotannya itu terbebas dari kepentingan lembaga survei atau tidak?," ungkap Prof Karim, Kamis (7/11).
Mengingat anggota dewan etik PERSEPI juga memiliki lembaga survei. Seperti halnya Saiful Mujani yang merupakan pendiri dari lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).
"Jadi publik bertanya-tanya, apakah murni ingin menegakan etik atau jangan-jangan rebutan kavling, rebutan lahan. Itu yang tidak baik," ujar Prof Karim.
Dia merasa aneh dengan PERSEPI yang mengerahkan dewan etik atas perbedaan hasil survei di Pilkada Jakarta. Pasalnya jika beda hasil survei di Pilkada Jakarta dipermasalahkan, seharusnya hasil survei Pilkada Jawa Tengah juga harus dipermasalahkan, karena ada beberapa perbedaan yang signifikan.
"Kalau Jakarta itu Poltracking beda jauh dari yang lain-lain dengan memenangkan Ridwan Kamil, itu sama kasusnya dengan Jawa Tengah di mana SMRC, Kompas, LKPI itu memenangkan Andika-Hendrar. SMRC dengan Litbang Kompas tipis, tapi LKPI itu menang jauh, tapi enggak diapa-apain," tutur Prof Karim.
Selain itu, Kalau bertindak adil, dewan etik Persepi harusnya tidak hanya menyidangkan beda hasil survei di Pilkada Jakarta saja. Tapi juga di daerah-daerah lain yang juga mengalami hal yang sama.
"Mengapa misalnya Jakarta yang dicermati, yang Jawa Tengah tidak. Ada urusan apa? Kan sama-sama melibatkan kepentingan publik. Jangan ada tebang pilih, kemudian independensi keanggotaan dewan etik itu mutlak harus dimiliki,” pungkasnya.
Integritas dan netralitas PERSEPI yang dipertanyakan ini kemudian menghasilkan keluarnya tiga lembaga survei ternama. Pertama Poltracking Indonesia mempertanyakan integritas PERSEPI dan akhirnya memutuskan keluar.
"Poltracking pada 2014 diajak bergabung ke Persepi karena pertaruhan integritas, pada 2024 Poltracking keluar dari Persepi juga karena pertaruhan integritas," ungkap Masduri Amrawi, Direktur Poltracking Indonesia.
Kemudian lembaga Parameter Politik Indonesia (PPI) juga menyatakan keluar. Berdasarkan surat pernyataan pengunduran diri PPI yang beredar di kalangan jurnalis, PPI menyatakan mundur dari Persepi secara sukarela.
"Kami sampaikan bahwa Parameter Politik Indonesia, menyatakan diri mundur dan keluar secara sukarela dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," demikian pernyataan melalui surat yang ditandatangani Direktur Parameter Politik Indonesia, Sadam Husen Falahuddin.
Adapun alasannya adalah restrukturisasi Kepengurusan Parameter Politik Indonesia, dan evaluasi dan konsolidasi internal arah kebijakan Parameter Politik Indonesia ke depan. Saat dikonfirmasi, peneliti senior PPI Adi Prayitno membenarkan hal tersebut.
"Iya mundur," jelas dia saat dikonfirmasi.
Begitu pula dengan Voxpol Center Research and Consulting. Voxpol juga menyatakan mundur dari keanggotaan dengan melayangkan surat kepada PERSEPI.
"Melalui surat ini, kami Voxpol Center Research and Consulting menyatakan keluar dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," demikian bunyi suratnya.
Pengunduran ini juga turut dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago. Ia mengatakan Voxpol tidaklagi menjadi bagian dari PERSEPI.
"Benar," singkat Pangi ketika dikonfirmasi terkait pengunduran diri Voxpol dari PERSEPI. (ebs)
Load more