Dian menjelaskan, yang berwenang untuk melakukan, menilai, dan menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sesuai dengan Pasal 23E ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan turunannya Pasal 10 ayat 1 UU 15 Tahun 2006 Tentang BPK.
"Kalau kita bisa membaca Perpres 192 tahun 2014 tentang BPKP yang diubah pada 2022, itu BPKP hanya diberikan fungsi menghitung kerugian negara, tapi itu juga dalam rangka pengendalian intern pemerintah, jadi melakukan identifikasi, pencegahan, dalam rangka mencegah pemberosan efektivitas terhadap penggunaan APBN," kata Dian.
Dalam aturan yang berlaku, hanya BPK yang berwenang sebagai lembaga untuk melakukan perhitungan kerugian negara. BPKP tidak dapat melakukannya.
"Jadi kalau dicari seluruh peraturan perundangan tidak ada satu pun lembaga, kecuali BPK di pasal 10 ayat 1 BPK berwenang menilai kerugian negara akibat perbuatan hukum atau kelalaian di keuangan negara, APBN, APBD, dan seluruh pengolahan negara lainnya, jadi penegasan itu memang yang mulia hanya kewenangan itu ada di BPK sendiri," tegasnya.
Dian juga merinci, BPKP memiliki fungsi yang tertuang di dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 Tentang SPIP.
Fungsi BPKP apabila diberikan mandat oleh BPK, atau dari Presiden yang didelegasikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri untuk melakukan menghitung kerugian negara.
"Pertama Presiden yang menugaskan, Menteri Keuangan yang memberi delegasi atau Menteri Dalam Negeri yang meminta. Jadi tiga itu saja, atas dasar itu maka fungsi BPKP melakukan penilaian ke negara dapat dilakukan. Tapi kalau misalnya pPesiden tidak meminta, BPK tidak, Menteri Keuangan tidak meminta, sehingga berarti kan tidak bisa melaksanakan fungsi penilaian kerugian negara tersebut," terang Dian.
Load more