“Problemnya, stereotype kekerasan Madura, pelan tapi pasti, diinternalisasi ke dalam kontestasi politik. Akibatnya, praksis politik di Madura belum keluar dari praktik ‘kependekaran’ dengan mengandalkan urat dan pusaka. Pemuda Madura mesti paham situasi sosio-politik ini,” sambungnya.
Muchlas juga menilai, persaingan antar kontestan dan pendukung tampak sengit, sehingga politik saling serang sangat kentara selama kampanye berlangsung.
“Kontestasi elektoral, utamanya di Madura, menimbulkan polarisasi ekstrem tidak sekadar di tingkat elit tetapi juga merasuk ke akar rumput, dan bahkan berlangsung cukup lama. Benih-benih perpecahan dan disintegrasi akibat perbedaan pilihan politik telah banyak dijumpai dalam setiap helatan pemilihan di Pulau Garam ini,” terang dia.
“Makanya, pemuda mesti memiliki kepekaan politik untuk terlibat aktif-partisipatif dalam upaya menanggulangi praktik politik memecah-belah. Caranya, melalui penguatan pendidikan dan literasi politik mahasiswa, termasuk sosialisasi politik santun kepada jaringan dan kantong organisasi pemuda,” tambah Muchlas.
Selain itu, masih tingginya angka pemilih emosional dengan mengandalkan politik identitas dan ras, menjadi alasan FPM menggelar kegiatan ilmiah demi menolak polarisasi politik dalam Pilkada Serentak 2024 di Madura.
“FPM bertanggungjawab untuk mendahulukan persaudaraan dan harmonisasi warga ketimbang praktis politik yang tak jarang justru memecah belah. Politik agitasi ini yang mesti diantisipasi pra dan pasca Pilkada,” tuturnya.
Kegiatan Seminar Kebangsaan ini diikuti oleh ratusan peserta dari dalam dan luar kampus di Madura.
Load more