Jakarta, tvOnenews.com - Sejumlah pakar hukum menilai sistem praperadilan di Indonesia perlu dilakukan perbaikan agar seperti tujuan awalnya yakni untuk melindungi masyarakat itu sendiri ketika berhadapan dengan hukum.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Romli Atmasasmita dalam diskusi bertema 'Pra-Peradilan dalam Penegakan Hukum di Indonesia' di Unpad Bandung, Kamis, menyebutkan bahwa seorang tersangka atau terdakwa memiliki hak atas kedudukan yang setara di hadapan hukum dan memiliki hak untuk diperlakukan secara manusiawi, dan bebas dari penyiksaan dalam proses peradilan.
Sementara, kata dia, praperadilan saat ini kurang memenuhi unsur tersebut, seperti waktu persidangan praperadilan yang dibatasi hanya tujuh hari, bahkan jika sudah masuk penyidikan pokok perkara, maka praperadilan itu gugur.
"Seorang tersangka atau terpidana memiliki hak untuk diperiksa dalam pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum. Mereka juga memiliki hak untuk tetap dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan peradilan yang memiliki kekuatan hukum tetap," ujar Romli mengutip Antara pada Jumat (24/1/2025).
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Nandang Sambas menegaskan bahwa praperadilan harus dikembalikan ke ruhnya, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
"Para penegak hukum, harus memahami filosofi praperadilan, bahwa seseorang apalagi dalam KUHP bahasanya adalah orang yang patut diduga, ini baru diduga melakukan tindak pidana. Jadi jangan diperlakukan semena-mena sehingga merampas hak-hak kemerdekaan seseorang," jelasnya.
Proses praperadilan yang cukup terlihat butuh perbaikan, kata akademisi Fakultas Hukum Unpad, Somawijaya, adalah dalam praperadilan kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong (Thom Lembong) di PN Jakarta Selatan.
Menurut Somawijaya, pada sidang praperadilan Thom Lembong, hakim lebih menitikberatkan pada formalitas dua alat bukti, tanpa mempertimbangkan relevansi alat bukti terhadap tindak pidana yang disangkakan.
"Saya juga melihat kurangnya pengawasan terhadap proses penetapan tersangka. Hakim pada kasus Thom Lembong menilai penetapan tersangka didasarkan pada potential loss, yang menurut Putusan MK Nomoe 25/PUU-XIV/2016 tidak memenuhi syarat sebagai kerugian negara yang nyata," ujar Somawijaya.
Somawijaya juga melihat adanya prosedur administratif yang tidak sah atas penahanan terhadap Thom Lembong tanpa dasar penangkapan terlebih dahulu.
Kondisi itu, memperlihatkan adanya ketidakmampuan peradilan dalam menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang seharusnya menjadi mekanisme untuk melindungi hak asasi tersangka dari tindakan sewenang-wenang.
"Hal tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan secara menyeluruh dalam setiap perkara, termasuk kasus tersebut," lanjutnya.
Idealnya, kata dia, penegakan hukum dilakukan dengan mempertimbangkan semua aspek yang relevan, termasuk bukti yang cukup dan kerugian yang nyata, untuk menjaga integritas sistem peradilan
"Dalam praktiknya, lembaga ini sering kali terjebak dalam penilaian formalitas, yang dapat mengabaikan substansi dan berpotensi melanggar hak asasi manusia," ucapnya.
Menurut Nandang Sambas, alat bukti memiliki fungsi sangat penting dalam proses peradilan, termasuk tindak pidana korupsi, di mana untuk pembuktian kejahatan yang dilakukan adalah dua alat bukti yang mendukung unsur ada tidaknya pidana korupsi dan bagaimana proses memperolehnya.
"Juga harus dibuktikan adanya unsur perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi," ujar Nandang.
Penyidik, kata dia, harus bisa membuktikan adanya unsur merugikan keuangan negara, perekonomian negara, unsur penyalahgunaan jabatan, kesempatan atau sarana.
"Proses memperoleh alat bukti sebagai bukti awal harus diuji kebenarannya, kehati-hatian, serta keprofesionalannya melalui mekanisme lembaga praperadilan," sambungnya.
Namun demikian, menurut akademisi Fakultas Hukum Unpad Elis Rusmiati yang juga merupakan mantan Hakim Tipikor, mengakui adanya kelemahan dalam proses praperadilan.
Menurut Elis, dalam praperadilan hakim memiliki tanggung jawab untuk melihat satu kasus yang dipersidangkan sudah dibuat dengan prosedur yang benar berdasarkan hukum atau tidak, yang ujungnya bisa dibuat putusan dengan rasa keadilan di dalamnya.
"Di situ penting bagi hakim untuk lebih berhati-hati dan cermat sehingga keputusannya memberikan rasa keadilan. Namun dengan sekarang satu hakim tunggal di tengah tugas persidangan lainnya serta durasi waktu yang pendek dan bisa gugur jika pemeriksaan pokok perkara sudah dimulai itu akan sulit."
"Akhirnya juga dalam banyak kasus, hakim hanya memperhatikan soal kuantitas, seperti pada alat bukti, kualitas alat bukti sendiri diabaikan," tutur Elis.(ant/ree)
Load more