Senada, warga Muara Enim yang bernama Lia juga ikut menyuarakan pelanggaran TSM yang terjadi di pilkada pada November 2024 lalu. Menurutnya, pelanggaran berupa penolakan pemilih tanpa surat undangan tersebut, sangat merugikan hak politik masyarakat.
"Yang saya ketahui, ketika ada nama kita di DPT (Daftar Pemilih Tetap), artinya ada juga undangan untuk memilih. Akan tetapi, banyak sekali masyarakat yang tidak menerima undangan untuk mencoblos. Ketika datang ke TPS tanpa surat undangan itu, mereka tidak diperbolehkan mencoblos. Artinya, ini sangat merugikan masyarakat yang ingin memberikan hak suara pada saat Pilkada Muara Enim (kemarin)," ujarnya.
Tak ayal, Lia pun menyimpulkan penyelenggaraan pilkada Muara Enim tidak berjalan dengan baik. Lia bahkan menilai ada potensi pengondisian oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan untuk memenangkan pilkada secara tidak jujur.
"Ketika sebuah sistem Pilkada tidak berjalan dengan baik atau sudah dikondisikan oleh oknum yang berkepentingan, tentunya pasti akan menguntungkan pihak yang memiliki kepentingan tersebut. (Lalu) untuk apa diadakan Pilkada? Tidak usah libatkan masyarakat jika Pilkada hanya formalitas saja, karena pemenangnya sudah diketahui," tegas dia.
Seperti diketahui, sengketa Pilkada Kabupaten Muara Enim tertuang dalam perkara nomor 83/PHPU.BUP-XXIII/2025. Sesuai tahapan, sejumlah perkara sengketa pilkada 2024 akan diputus dalam putusan dismissaljika dianggap Hakim MK tidak berdasar atau tidak layak diterima.
Salah satu faktor yang dipertimbangkan adalah syarat formal ambang batas yang terdaftar dalam ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang mengatur syarat perselisihan suara, mulai 0,5 persen hingga 2 persen tergantung jumlah penduduk.
Load more