"Seburuk apa pun putusan hakim itu tetap harus kami akui dan harus melaksanakan, aturannya seperti itu. Tidak ada upaya hukum yang lain. Akan tetapi, dengan Undang-Undang Kejaksaan yang baru, saya kira apakah nanti KPK akan melakukan peninjauan kembali (PK) kami lihat karena di Undang-Undang Kejaksaan yang baru 'kan dimungkinkan," kata Alex.
Selain itu, kata dia, KPK juga akan mempelajari terlebih dahulu setelah menerima putusan lengkap dari MA.
"Tentu kami akan melihat setelah menerima putusan lengkapnya seperti apa karena di dalam berita kami tidak melihat apakah ganti rugi tersebut juga dikoreksi. Kalau di putusan pertama 'kan ada kewajiban untuk membayar uang pengganti. Apakah itu juga dihapus? Kami belum tahu," tuturnya.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, kewajiban untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219,00 dan 77.000 dolar AS serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak selesai menjalani hukuman.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada tanggal 15 Juli 2021 menjatuhkan vonis yang sama dengan tuntutan, yaitu 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti dan pencabutan hak dipilih selama 2 tahun.
Namun, pada tanggal 21 Oktober 2021, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Edhy Prabowo menjadi 9 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan, membayar uang pengganti sejumlah Rp9.687.457.219,00 dan 77.000 dolar AS serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.
Atas putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut, Edhy Prabowo mengajukan kasasi pada tanggal 18 Januari 2022. Dalam perkara ini, Edhy Prabowo terbukti menerima suap senilai 77.000 dolar AS dan Rp24.625.587.250,00 dari pengusaha terkait ekspor BBL. (ant/prs)
Load more